Welcome to the Arena of Science

The ultimate happiness can only be achieved with useful knowledge

Sabtu, 26 Mei 2012

Life Skills Counselling and Self-regulated Learning


IMPLEMENTASI LIFE SKILLS COUNSELING BERBASIS JURNAL BELAJAR UNTUK MENINGKATKAN SELF-REGULATIED LEARNING SISWA SMP

Oleh: Moh. Mahfudz Faqih

I.         PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Globalisasi merupakan sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan. Setiap bangsan dan negara pasti akan menghadapi gelombang globalisasi, kini atau di waktu-waktu mendatang, karena globalisasi merupakan salah satu tahap perkembangan kebudayaan manusia.
Globalisasi ditandai dengan adanya  peningkatan integrasi ekonomi dan masyarakat di seluruh dunia, melampaui batas-batas negara, khususnya melalui perdagangan internasional dan aliran modal, ide-ide dan orang. Globalisasi mencakup transfer budaya dan teknologi, dan pengembangan regulasi internasional. Dalam kondisi seperti ini batas-batas antar negara menjadi susut atau bahkan “hilang”. Adeiza (2010) menyebutnya sebagai “desa global” di mana kehidupan kita sehari-hari secara signifikan dipengaruhi oleh produk, layanan, dan gambar yang berasal dari negara dan budaya lain. Dengan kata lain, era globalisasi memaksa setiap komunitas menjadi masyarakat terbuka yang memiliki peluang untuk mempengaruhi ataupun dipengaruhi komunitas masyarakat lainnya dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam struktur masyarakat terbuka seperti itu, yang lebih besear kecenderungannya terpapar pengaruh negatif globalisisasi adalah masyarakat berkembang. Beberapa pengaruh negatif globalisasi sebagaimana diuraikan Pillai (dalam Handarini, D.M., 2011) antara lain: negara berkembang “diserbu” pekerja, eksploitasi buruh, ketidakstabilan kerja, meningkatnya polusi, menyebarnya makanan cepat saji ke berbagai pelosok, meningkatnya penyakit menular yang mematikan, banyaknya industri lokal yang diambil alih PMA, meluasnya aspek negatif budaya asing melalui TV dan internet.
Golongan masyarakat yang paling rentan terpapar pengaruh negatif globalisasi adalah remaja. Hal ini disebabkan karena remaja berada dalam masa transisi dan pencarian identitas diri. Dalam proses ini remaja cenderung meniru  berbagai perilaku dan/atau sikap-sikap di luar dirinya. Di sisi lain remaja adalah individu-individu yang berada dalam proses menjdi (on becoming) dalam komunitas masayarakat yang terus berkembang menuju dan mengikuti globalisasi yang niscaya. Karena itu proses be coming mereka akan terganggu bilamana mereka tidak memiliki karakter intrapersonal dan interpersonal yg dibutuhkan untuk bisa survive dalam arus globalisasi tersebut.
Era globalisasi, salah satunya, ditandai munculnya perdagangan bebas. Era free trade area ini akan efektif diberlakukan pada tahun 2020 yang akan datang, dimana setiap negara di dunia memiliki akses sebebas-beasnya menjual dan membeli barang dan jasa serta berinvestasi di negara lain. Dengan demikian, barang dan jasa, temasuk jasa tenaga ahli akan bebas memasuki negara manapun. Dalam kondisi seperti ini daya saing suatu negara dalam hal kualitas barang produksi dan tenaga profesional akan menentukan tingkat marketable barang dan jasa negara tersebut, baik terhadap industri domistik lebih-lebih terhadap negara lain. Dengan kata lain, free trade area memberi peluang menguntungkan hanya bagi negara-negara yang memiliki tenaga kerja dengan kualifikasi profesional.
Fakta lain yang perlu disikapi adalah perkembangan sains dan teknologi yang begitu cepat. Abad 21 merupakan era informasi yang terus bergerak menuju era pengetahuan (knowledge age), dimana pengetahuan (knowledge) dijadikan penopang utama setiap aktivitas ekonomi, sehingga muncul istilah ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy) atau yang populer dikenal dengan ekonomi kreatif (creative economy), yakni suatu tatanan ekonomi yang ditopang dengan keunggulan budaya, seni dan inovasi teknologi.
Abad 21 juga menuntut kompetensi-kompotensi spesifik, diantaranya: 1) mengatur dan menyeimbangkan tujuan-tujuan diri sendiri; 2) memulai dan mengarahkan aktivitas-aktivitas diri sendiri; 3) bekerja secara independen; 4) adaptabilitas, yakni kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan berbagai peran, tanggungjawab dan konteks, termasuk juga kemampuan untuk bekerja secara efektif dalam konteks yang membingungkan, serta fleksibel dalam memasukkan feedback; 5) komunikasi dan kolaborasi (Ananiadou & Claro, 2009; Partnership for 21st Century Skills, 2009a, 2009b, dalam Wolters, 2010). Berbagai kompetensi tersebut dipandang memiliki banyak kesamaan konseptual dengan ketrampilan SRL (Wolters, 2010).
Konsekuensi dari rangkaian perkembangan sains dan teknologi yang melahirkan era ekonomi kreatif tersebut adalah semakin pesatnya perkembangan pengetahuan dan laju arus informasi. Pada akhirnya, kondisi ini akan melahirkan kebutuhan akan adanya bentuk-bentuk pekerjaan baru yang hanya dapat dikerjakan oleh tenaga-tenaga yang berpengetahuan dan berketrampilan khusus (skilled worker). Dengan kata lain, konsekuensi dari adanya ekonomi kreatif dan kerangka kompetensi abad 21ini adalah adanya tuntutan profil individu dan ketenagakerjaan yang semakin kompleks dan selaras dengan perubahan tersebut.
Sementara di sisi lain, prilaku dan kebiasaan belajar siswa dan beberapa atribut yang terkait menunjukkan kecenderungan yang kurang menggembirakan. Salah satu bentuk prilaku dan kebiasaan negatif dalam belajar adalah prilaku “nyontek (cheating)” saat ujian. Nugroho (2008) mengutip sebuah artikel dalam harian Jawa Pos yang memuat hasil poling yang dilakukannya mengenai prilaku menyontek siswa-siswi SMP di Surabaya menunjukkan sebagian besar siswa terbiasa “nyontek” saat ujian. Data itu menyebutkan bahwa, jumlah penyontek langsung tanpa malu-malu kucing mencapai 89,6 %, langsung bertanya kepada teman mencapai 46,5 %. Sedangkan 20 persen lebih berhati-hati dengan cara memakai kode dan 14,9 % mengandalkan lirikan. Untuk jumlah responden yang lulus dari “sensor” guru, sejumlah 65,3 %[1]. Bahkan dalam skala yang lebih luas, survey mengenai masalah cheating ini dilakukan oleh Litbang Media Group Pada tahun 2007 yang di melibatkan enam kota besar di Indonesia yaitu: Makassar, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, jakarta, dan Medan, menunjukkan bahwa hampir 70 % dari 480 responden menyatakan pernah melakukan cheating saat masih di bangku sekolah[2].
Menurut Anderman & Murdock (2007)[3] Prilaku mencontek terjadi karena siswa cenderung malas berfikir kompleks dan tidak tahu bagaimana menggunakan strategi belajar efektif yang meliputi self-regulated learning dan strategi kognitif.
Dalam aspek prestasi belajarpun siswa-siswa di Indonesia berada di bawah rata-rata internasional. Hal ini sebagaimana terungkap dalam kajian yang dilakukan oleh Bank Dunia bekerjasama dengan Kementrian Agama RI terhadap 50 Madrasah di pulau jawa, 50 Madarasah di bagian Barat Indonesia, dan 50 Madrasah di bagian timur Indonesia[4]. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa-siswa Madrasah di tiga wilayah tersebut pada mata pelajaran Matematika, IPA, dan Bhs. Inggris berada di bawah rata-rata prestasi siswa internasional.
Prestasi belajar tinggi merupakan salah satu ciri pebelajar yang menggunakan strategi self-regulated learning. Hasil peneilitian Pintrich & DeGroot, 1990; VanZile-Tamsen & Livingston, 1999 (Chen, 2002) mengungkapkan bahwa siswa-siswa yang berprestasi tinggi lebih sering menggunakan strategi self-regulated learning daripada siswa yang berprestasi rendah. Hal tersebut didukung hasil penelitian Zimmerman dan Schunk  (dalam Zimmerman, 1990) yang menunjukkan bahwa siswa yang memperoleh prestasi belajar yang tinggi adalah siswa yang mampu melakukan perencanaan dan menentukan tujuan yang akan dicapai.
Hasil-hasil penelitian mutakhir juga memperkuat hasil penelitian di atas bahwa ketrampilan self-regulated learning berkorelasi dan berpengaruh terhadap kinerja atau prestasi akademik peserta didik (Kosnin, 2007; Krebs, dkk., 2010; Cheng, 2011; Núñez, dkk., 2011). Hasil penelitian Lucy Barnard-Brak, dkk., (2010) membuktikan bahwa siswa-siswa dengan profil SRL “competent self-regulators” dan “super self-regulators” menunjukkan prestasi belajar yang tinggi, sedangkan siswa-siswa dengan profil non self-regulator atau minimal self-regulator serta siswa dengan profil disorganized self-regulators, sama-sama menunjukkan tingkat prestasi yang rendah.
Di samping itu, beberapa peneliti yang menyelidiki pengaruh penerapan komponen-komponen SRL terhadap prestasi belajar juga memperkuat hasil-hasil penelitian di atas. Misalnya, keyakinan-keyakinan belajar berkorelasi dengan ketrampilan strategi SRL dan kemampuan memahami bacaan (Law, Yin-kum dkk., 2008); metakognisi SRL dan keyakinan-keyakinan motivasi berkorelasi dengan performen akademik mahasiswa (Al Khatib, S., 2010); pelatihan refleksi dan atribusi berpengaruh terhadap peningkatan aktivitas-aktivitas belajar metakognitif dan konatif mahasiswa serta berpengaruh positif terhadap peningkatan prestasi akademik mereka (Masui1, C. & De Corte, E., 2005); Minat intrinsik terhadap pelajaran berpengaruh langsung pada SRL mahasiswa, dan melalui SRL mempengaruhi homework completion, tingkat nilai UTS dan UAS (Bembenutty, H., 2010).
Memperhatikan beberapa fakta di atas, sangatlah mendesak untuk menyiapkan siswa dengan berbagai ketrampilan, baik intrapersonal maupun interpersonal. Dengan bekal ketrampilan-ketrampilan tersebut, diharapkan siswa akan mampu berkompetisi secara sehat dalam dunia yang semakin menggelobal ini. Salah satu ketrampilan yang sangat urgen adalah ketrampilan self-regulated learning.
Self-regulated learning adalah sebuah proses aktif yang dapat diterapkan dimana peserta didik menetapkan tujuan-tujuan untuk belajar mereka dan kemudian berusaha memonitor, mengatur, dan mengontrol kognisi, motivasi, dan perilaku mereka (Pintrick, dalam Arsal, Z., 2010). SRL merupakan ketrampilan yang dapat dipelajari dan dilatihkan secara efektif pada siswa-siswa di berbagai tingkatan akademik, mulai dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi (Wolters, 2010). Kesimpulan Wolters tersebut didasarkan pada hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan para peneliti. Namun demikian, menurut Zimmerman (2002) pada usia-usia sekolah dasar awal siswa tidak terlalu diharapkan untuk terlibat dalam pengalaman SRL di luar kelas seperti penyelesaian PR, baru pada kelas-kelas berikutnya guru lebih sering memberikan pekerjaan rumah untuk diselesaikan di luar kelas.
Lebih lanjut Zimmerman (2002) menegaskan bahwa meskipun para guru dan orang tua berusaha mengembangkan SRL siswa-siswa sekolah dasar melalui pekerjaan rumah yang ditugaskan, transisi dari sosial (external regulation) menuju pengaturan diri sering mengalami kegagalan. Hal ini diperkuat dengan temuan penelitian Mih, Codruţa & Mih, Viorel (2010) bahwa pemrosesan dan penggunaan strategi-strategi kognitif yang lebih dalam menunjukkan perbedaan yang signifikan diantara siswa-siswa kelas 6 dan kelas-kelas di atasnya (kelas 8, 10, 12). Artinya, siswa lebih sering menerapkan pemrosesan dan strategi-strategi kognitif yang lebih dalam setelah usia sekolah mereka bertambah.
Hal ini dapat dimengerti mengingat siswa-siswa SMP pada kelas-kelas awal sudah lebih dituntut untuk mengembangkan tanggungjawab pribadi meskipun perkembangan regulasi diri mereka masih terbatas. Berdasarkan pendapat di atas, penulis simpulkan bahwa pengembangan SRL lebih efektif dilakukan pada siswa-siswa SMP.
Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan ketrampilan self-regulated learning adalah penggunaan format-format harian, sebagaimana disarankan oleh Zimmerman, dkk. (Arsal, Z., 2010). Beberapa bentuk format harian yang sering digunakan untuk kepentingan tersebut adalah “menulis diary dan jurnal”.

Dalam setting sekolah, guru termasuk konselor sekolah, bertang-gungjawab untuk membekali murid-muridnya dengan berbagai kompetensi dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk keberlanjutan tumbuhkembang mereka. Tanggungjawab untuk mengembangkan peserta didik secara utuh dan optimal sesungguhnya merupakan tugas bersama yang harus dilaksanakan oleh guru, konselor, dan tenaga pendidik lainnya sebagai mitra kerja, sementara itu masing-masing pihak tetap memiliki wilayah layanan khusus dalam mendukung realisasi diri dan pencapaian kompetensi peserta didik. Guru bidang studi bertugas mengupayakan tercapainya Standar Kompetensi Lulusan (SKL) melalui proses pembelajaran bidang studi, sedangkan konselor sekolah membantu siswa mencapai Standar Kompetensi Kemandirian (SKK) melalui pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan. Oleh karena itu, kerjasama antara konselor dengan guru merupakan suatu keharusan. Dalam rambu-rambu penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling yang di rumuskan oleh ABKIN dan Dirjen PMPTK (2007), hubungan fungsional kemitraan antara guru dan konselor secara jelas dilukiskan dalam gambar berikut:

Perkembangan Optimum Peserta didik
 

Standar Kompetensi Kemandirian  utk mewujudkan diri (akademik, karir, sosial, pribadi)
(Bimbingan dan Konseling)
Misi  bersama guru dan konselor dalam memfasilitasi perkembangan peserta didik seutuhnya dan pencapaian tujuan pendidikan nasional
Standar Kompetensi Lulusan mata pelajaran
(Pembelajaran bidang studi)

Wilayah  onselor
 

Hubungan Fungsional Kemitraan
 

Wilayah Guru
 
Gambar 1. Kesamaan dan Keunikan Wilayah Kerja Konselor dan  Guru
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dirumuskan masalah-masalah penelitian sebagai berikut:
1.    Bagaimanakah tingkat ketrampilan self-regulated learning siswa SMP ?
2.    Apakah lifeskills counselling berbasis jurnal belajar efektif meningkatkan ketrampilan self-regulated learning siswa SMP?
3.    Apakah ketrampilan self-regulated learning  efektif meningkatkan prestasi belajar siswa ?

C.  Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk:
1.      Mengetahui tingkat ketrampilan self-regulated learning siswa SMP.
2.      Mengetahui efektifitas implementasi lifeskills counselling berbasis jurnal belajar dalam meningkatkan ketrampilan self-regulated learning siswa SMP.
3.      Mengetahui efektifitas ketrampilan self-regulated learning  dalam meningkatkan prestasi belajar siswa.




II.      KERANGKA TEORETIK

A.      Self-Regulated Learning
Self-regulation merupakan salah satu tema sentral dalam teori kognisi sosial. Menurut Bandura, (dalam Zimmerman, 2000) Self-regulation merupakan interaksi proses-proses triadic dari faktor personal, prilaku, dan lingkungan. Dalam perspektif teori ini, Self-regulation menunjuk pada aktivasi pikiran-pikiran, perasaan-perasaan dan tindakan-tindakan yang direncanakan dan secara siklikal diadaptasikan untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi (Zimmerman, 2000). Pintrich merumuskannya sebagai proses-proses aktif-konstruktif dimana seseorang menetapkan tujuan-tujuan bagi belajar/pekerjaan/hidupnya dan kemudian berupaya memantau, mengatur, dan mengendalikan pikiran, motivasi dan prilaku mereka yang dipandu dan dibatasi oleh tujuan-tujuan mereka dan segi-segi kontekstual dari lingkungan (dalam Kadhiravan, S & Suresh, V, 2008).
Sedangkan self-regulated learning didefinisikan sebagai kemampuan berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran dari sudut pandang meta-kognisi, motivasi dan perilaku (Zimmerman, dalam Tavakolizadeh, J. & Qavam, S.E., 2011). Sementara Pintrick (dalam, Shih, Hui-Ru; dkk., 2011) merumuskannya sebagai proses-proses aktif-konstruktif dimana seseorang menetapkan tujuan bagi belajar mereka kemudian berupaya memantau, mengatur, dan mengendalikan pikiran, motivasi dan prilakunya yang dipandu dan dibatasi oleh tujuan-tujuan mereka dan segi-segi kontekstual dari lingkungan. Siswa-siswa dengan SRL yang baik akan mengambil inisiatif pribadi, menerapkan strategi yang ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan belajar yang dinilai secara individu dan memantau pemahaman mereka untuk mendeteksi dan menghilangkan masalah pemahaman yang mungkin dialami (Paris & Paris, 2001; Schraw, 1998; Zimmerman, 2002, dalam Nu¨ckles, M.; Hu¨bner, S. & Renkl, A., 2009).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa self-regulated learning adalah kemampuan seseorang untuk mengontrol dan mempengaruhi proses belajarnya sendiri secara positif. SRL berkaitan dengan penetapan tujuan dan orientasi-orientasi  tujuan individu, yang menggerakkannya secara sadar dan aktif untuk menyusun rencana dan strategi pencapaian; diikuti dengan upaya koordinasi dan pendayagunaan segenap potensi pikiran, emosi dan prilaku menuju tujuan yang ditetapkan.
Dalam perspektif teori ‘kognisi sosial’ self-regulated learning memiliki dan berjalan di atas tiga komponen (Zimmerman, 2000). Pertama, Forethought. Komponen ini mengacu pada proses-proses yang berpengaruh yang mendahului tindakan, dan proses menetapkan tahapan pencapaiannya. Komponen pemikiran ini meliputi dua sub komponen yang berbeda, yakni: 1) task analysis; dan 2) self-motivational beliefs. Wujud dari task analysis berupa kegiatan penetapan tujuan. Ini berarti individu membuat keputusan tentang hasil-hasil belajar atau penampilan khusus yang ingin dicapai. Bentuk analisis tugas yang kedua adalah menyusun dan menetapkan rencana strategi pencapaian (strategic planning). Penetapan strategi pencapaian yang akurat akan meningkatkan kinerja atau performen individu melalui mekanisme bantuan pada kognisi, mengendalikan pengaruh, dan mengarahkan pelaksanaan tindakan (Pressley & Wolloshyn, dalam Zimmerman, 2000). Sedangkan self-motivational beliefs mengacu pada sejumlah atribut internal yang bahkan mendasari proses penetapan tujuan dan penyusunan rencana strategi pencapaian, yang meliputi: self-efficacy, ekspektasi hasil, minat atau nilai intrinsik, dan orientasi tujuan.
Self-efficacy mengacu pada penilaian orang mengenai kemampuannya mengorganisir dan melaksanakan serangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai jenis hasil atau kinerja yang telah ditetapkan (Bandura, dalam Çubukçu, 2008). Sedangkan ekspektasi hasil mengacu pada keyakinan tentang hasil akhir dari suatu kinerja (Zimmerman, 2000). Minat intrinsik merupakan kondisi dimana individu termotivasi secara internal sebagai pengaruh dari tujuan-tujuan yang ditetapkannya, sebagaimana dikatakan Bandura (1977) bahwa tujuan-tujuan yang ditetapkan secara aktif dapat menjadi sumber penting bagi motivasi (dalam Driscoll, 2005). Orientasi tujuan individu meliputi dua tipe orientasi, yakni: performance goal dan learning goal (Driscoll, 2005). Performance goal adalah tujuan-tujuan yang diorientasikan pada hasil kinerja, misalnya “saya ingin mendapatkan nilai A pada mata pelajaran biologi”. Sedangkan learning goal adalah tujuan yang diorientasikan pada proses, misalnya pernyataan “saya ingin mengerti proses perkembangan makhluq hidup”.
Kedua, Performance Or Volitional Control. Komponen ini melibatkan proses yang terjadi selama upaya-upaya motorik serta proses mempengaruhi perhatian dan tindakan. Komponen ini juga memiliki dua sub komponen, yakni: 1)self-control, dan 2)self-observation.
Self-control mencakup beberapa kemampuan internal, seperti instruksi diri, membuat gambaran mental (imagery), memusatkan perhatian, dan strategi-strategi tugas. Proses-proses self-control tersebut akan membantu pebelajar atau pelaku untuk fokus pada tugas dan mengoptimalkan usaha-usaha mereka (Zimmerman, 2000). Sedangkan self-observation mengacu pada pelacakan seseorang mengenai aspek-aspek spesifik dari kinerja mereka sendiri, kondisi yang mengelilinginya, dan efek-efek yang dihasilkannya (Zimmerman & Paulsen, dalam Zimmerman, 2000). Penetapan tujuan yang dilakukan pada fase forethought mempermudah self observation, karena tujuannya terfokus pada proses yang spesifik dan terhadap kejadian di sekelilingnya. Tedapat dua kemampuan internal yang terlibat dalam self-observation ini, yaitu: self-recording dan self-experimentation. Catatan diri dapat menangkap informasi pribadi pada titik dimana hal itu terjadi, menyusunnya menjadi lebih bermakna, memelihara keakuratan tanpa perlu mengganggu latihan, dan menyediakan data base panjang untuk membedakan bukti kemajuan.
Ketiga, Self reflection.  Komponen ini melibatkan proses yang terjadi setelah upaya tindakan atau performan dan proses mempengaruhi respon seseorang terhadap pengalaman itu. Refleksi diri ini, pada gilirannya, mempengaruhi pemikiran tentang upaya-upaya motorik. Komponen ketiga dari regulasi diri meliputi dua sub komponen, yaitu: 1) self-evaluation, dan 2) self-reaction (Zimmerman, 2000). self-evaluation meliputi self judgement terhadap performance yang ditampilkannya dalam upaya mencapai tujuan dan menjelaskan penyebab yang signifikan terhadap hasil yang dicapainya. Self evaluation mengarah pada upaya untuk membanding informasi yang diperolehnya melalui self monitoring dengan standar atau tujuan yang telah ditetapkan pada fase forethought. Proses yang kedua yang terjadi pada fase ini adalah self reaction yang terus menerus akan memperngaruhi fase forethought dan seringkali berdampak pada performance yang ditampilkannya di masa mendatang terhadap tujuan yang ditetapkannya
Ketiga komponen self-regulation di atas dan siklus kerjanya dapat divisualisasikan sebagai berikut:


Performance Or Volitional Control
(Fase II)
self-control
self-observation
Task strategies
Self-instruction
Imagery
Time management
Environmental structuring
Help seeking
Interest incentives
Self-consequences
Metacognitive monitoring
Self-recording

 

Forethought
(Fase I)
Task analysis
Self-motivational beliefs
Goal setting
Strategic planning
Self-efficacy
Outcome expectation
Task interest
Goal orientation

 

Self reflection
(Fase III)
self-judgement
self-reaction
Self-evaluation
Causal attribution
Self-satisfaction/ affect adaptive/ devensive

 
















Gambar 1. Proses / siklus berlangsungnya regulasi diri
Sumber: Zimmerman, B.J. & Moylan, Adam R. (2009)

Selain ketiga komponen tersebut di atas, terdapat beberapa strategi SRL yang umum digunakan siswa-siswa dengan performen akademik yang tinggi. Strategi tersebut, sebagaimana disarikan dari Zimmerman (1990) adalah: 1) Self Evaluating; 2) Organizing and Transforming; 3) Goal-setting and Planning; 4) Seeking Information; 5) Keeping Records and Monitoring; 6) Environmental Structuring; 7) Self Consequating; 8) Rehearsing and Memorizing; 9) Seeking Social Assistance from Peers; 10) Seeking Social Assistance from Teachers; 11) Seeking Social Assistance from Adult; 12) Reviewing Records from note; 13) Reviewing Records from textbook; 14) Other.

B.       Jurnal Belajar
Jurnal atau protokol belajar merupakan salah satu instrumen dalam format tertulis yang ditujukan untuk memotivasi siswa mendokumentasikan dan merefleksikan proses-proses belajar mereka. Jurnal belajar dan format tertulis lainnya seperti learning diaries dan portfolio dipandang sangat supportif. Bahkan Berendt (dalam Gläser-Zikuda, M., dkk., 2011) menyatakan bahwa dari perspektif psikologi belajar dan ilmu pendidikan, berbagai pendekatan tertulis tersebut memberi kontribusi penting bagi pergeseran paradigma dari “mengajar” ke “belajar”.
Sebuah jurnal belajar adalah tugas menulis, biasanya dilakukan sebagai program tindak lanjut kegiatan kerja. Dalam jurnal belajar, para siswa diminta untuk menuliskan refleksi mereka tentang konten pembelajaran yang telah diikuti (Hübner, S., 2009). Dalam perspektif strong-text view dari Emig (Hübner, S., 2009) menulis dipandang sebagai suatu cara unik dari berpikir dan belajar. Dengan kata Emig itu, menulis memberikan kontribusi untuk belajar, "karena menulis sebagai suatu proses dan produk memiliki sekelompok sifat yang secara unik sesuai dengan strategi belajar tertentu yang kuat.
Menulis sebuah jurnal belajar adalah cara menulis yang bebas dan ekspresif, yang secara pribadi memungkinkan penulis memilih aspek materi belajar yang penting dan memerlukan pengolahan lebih dalam. lebih khusus lagi karena catatan pribadinya, jurnal belajar merangsang penulisan elaboratif yang memungkinkan siswa menghubungkan materi belajar dengan pengetahuan awal atau pengalaman yang telah dimiliki. Koneksi semacam ini oleh Mayer (Hübner, S., 2009) disebut “external connection” memungkinkan siswa memperoleh pemahaman mendalam dan menyimpan materi belajar secara lebih baik.
Oleh sebab itu, sebuah jurnal belajar bukan hanya dokumentasi strategi belajar kognitif siswa seperti organisasi dan elaborasi. Sebaliknya, berdasarkan  hipotesis  " backward search” dari Klein,  (dalam Hübner, S., 2009) ia akan membuka peluang untuk terlibat secara metakognitif dengan bahan belajar. Sambil menuliskan pikiran mereka di atas kertas, siswa juga harus memperhatikan aspek mana dari bahan belajar yang telah ia pahami dengan baik dan mana yang belum. Oleh karena itu, jenis pemantauan pemahaman membantu untuk mendeteksi ilusi pemahaman (Chi, Bassok, Lewis, Reimann, & Glaser, 1989, dalam Hübner, S., 2009).
Dalam konteks konseling, penggunaan “menulis terbimbing” telah lama digunakan sebagai salah satu teknik biblioterapi bersama-sama dengan kegiatan “membaca” (McLeod, 2010). Beberapa terapis, seperti  Maultsby, dan McKinney (McLeod, 2010) mendorong klien mereka untuk menulis topik-topik tertentu, sedangkan terapis lainnya menggunakan “diari” dan “jurnal” berkesinambungan. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk “intervensi konseling berbasis menulis” disamping bentuk-bentuk lainnya, seperti koresponden, menulis puisi, dan autobiografi (Greening, dalam McLeod, 2010).
C.      Life Skills Counselling
Konseling ketrampilan hidup pertama kali diperkenalkan oleh Richard Nelson-Jones pada tahun 1984. Pendekatan konseling ketrampilan hidup merupakan pendekatan edukatif yang ditujukan terutama untuk menangani problem kehidupan orang-orang awam, dan bukan untuk individu-individu yang mengalami masalah emosional serius atau mengalami gangguan psikiatris (Jones, 2000). Pendekatan konseling ini dikembangkan berdasarkan model teoretis cognitive humanistic (Jones, 2005).  Di dalam Cognitive Humanistic Therapy terdapat dua bidang utama, yakni 1) adaptation cognitive humanistic yang bertujuan untuk membantu klien-klien yang mengalami sedikit gangguan untuk memperoleh ketrampilan-ketrampilan berfikir, berkomunikasi dan tingkah laku yang dibutuhkan untuk dapat berfungsi secara nyaman dalam masyarakatnya; 2) mental cultivation cognitive humanistic, yang bertujuan membantu klien dan orang lain untuk mencapai tingkat keberfungsian yang lebih tinggi yang melampaui norma-norma. (jones, 2005).
 Konseling ketrampilan hidup mengadopsi jenis pertama dari cognitive humanistic therapy. Meskipun demikian, penerapannya dalam konseling tetap menggunakan wawasan cognitive behavior dalam rangka memfokuskan pada perubahan pikiran dan tindakan, dan dalam rangka membekali klien ketrampilan yang dibutuhkannya agar lebih efektif menjalani hidupnya sekarang dan di masa mendatang (Jones, 2000). Penggunaan bahasa ketrampilan oleh Jones dimaksudkan untuk memberi keleluasaan kepada konselor untuk mengambil posisi teoretis yang berbeda tanpa harus terjebak dalam bahasa yang terpisah.
1.    Teori dan Konsep Dasar
a.    Bahasa ketrampilan
Dalam perspektif lifesklills counselling approach perilaku manusia dipandang terkait dengan ketrampilan hidup yang dipelajari. Di sini ketrampilan hidup dipandang sebagai rangkaian pilihan yang dibuat orang dalam lingkup ketrampilan spesifik. Sementara, elemen dasar dari setiap ketrampilan adalah kemampuan mengimplementasikan rangkaian pilihan untuk mencapai sasaran (Jones, 2005).
Bahasa ketrampilan berarti menggunakan ketrampilan secara konsisten untuk menggambarkan dan menganalisis prilaku orang. Dalam konteks pelaksanaan konseling, bahasa ketrampilan berarti berpikir dan berbicara tentang problem yang dihadapi klien berkaitan dengan kekuatan atau kekurangan ketrampilan hidupnya (Jones, 2000). Dengan kata lain, mengidentifikasi dan merumuskan masalah klien sebagai kurangnya ketrampilan berpikir spesifik dan bertindak, dan kemudian mentransformasikanya menjadi tujuan konseling.



b.   Permainan hidup rohani dan ragawi
Permainan hidup rohani mengacu pada hal-hal yang terjadi dalam diri seseorang, yakni: bagaimana dia berfikir, merasa, atau ketrampilan berpikir dan perasaannya. Salah satu asumsi konseling ketrampilan hidup adalah bahwa individu memiliki potensi untuk menciptakan pikiran yang trampil atau tidak trampil, atau campuran keduanya (Jones, 2000). Ketrampilan ini meliputi 12 belas wilayah ketrampilan berfikir, yakni: 1) memahami hubungan bagaimana seseorang berfikir, merasakan dan bertindak; 2) memiliki tanggungjawab untuk memilih; 3) berhubngan dengan perasaannya sendiri; 4) menggunakan metode self-talk untuk menciptakan perkembangan yang positif; 5) memilih dan menetapkan aturan-aturan yang realistis; 6) melihat secara akurat; 7) menentukan faktor penyebab secara akurat; 8) memprediksi secara realistis; 9 & 10) membuat dan menetapkan tujuan yang realistis; 11) menggunakan ketrampilan visual; 12) mencegah dan mengelola masalah.
Sedangkan permainan ragawi mengacu pada hal-hal yang terjadi di luar diri seseorang, mengenai apa yang dilakukan orang dan bagaimana dia melakukannya. Ketrampilan ini sangat beragam tergantung pada bidang atau cakupannya, seperti dalam bidang belajar, bekerja, atau menjalin relasi dengan orang lain.

c.    Tujuan konseling
Tujuan konseling ketrampila hidup lebih diutamakan  membantu klien mengubah ketrampilan problematik yang mendasari masalah-masalahnya yang berkepanjangan (Jones, 2000). Hal ini berarti tidak hanya fokus pada upaya membantu klien mengelola masalah-masalahnya saja. Karena menurut Jones (2005) membantu klien mengatasi masalah saja seringkali membuat klien mengalami kekambuhan di waktu-waktu lain. Oleh karena itu konseling ini bertujuan untuk mengembangkan pribadi yang trampil. Adapun ketrampilan hidup esensial yang dibutuhkan individu-individu dikelompokkan menjadi 5R (Jones, 2000), yakni:
ü Responsive, mencakup kesadaran eksistensial, kesadaran perasaan, kesadaran motivasi dari dalam dan kepekaan pada kecemasan dan rasa bersalah.
ü Realisme, yakni ketrampilan berfikir.
ü Relasi, yakni ketrampilan menjalin relasi dengan orang lain, misalnya: pertemanan, penegasan, mengelola kemarahan dan memecahkan problem relasi.
ü Aktivasi rewarding, yang meliputi: ideentifikasi minat, ketrampilan bekerja, ketrampilan belajar, mengelola waktu luang, dan merawat kesehatan fisik
ü Right-and-wrong, mencakup: minat sosial, dan kehidupan etis.

d.   Tahap konseling : Model DASIE lima tahap
Konseling ketrampilan hidup dijalankan secara sistematis melalui model ‘DASIE’ lima tahap. Kelima tahap tersebut sebagaimana dijelaskan Jones (2000) adalah sebagai beriktu:
ü Develop : tahap 1 adalah mengembangkan  relasi dan mengklarifikasikan masalah. Konselor pada tahap ini mengembangkan suasana empati, kehangatan dan ketulusan untuk menjalin relasi supportif dengan klien, dalam rangka mengidentifikasi dan memperoleh gambaran problem klien secara lebih utuh.
ü Asses : tahap 2, menilai dan menyatakan kembali masalah klien dalam istilah ketrampilan. Pada tahap ini konselor mengidentifikasi dan merumuskan proposisi atau hipotesis tentang bagaimana klien berpikir dan bertindak yang mendasari masalahnya. Tahap ini diakhiri dengan kembali merumuskan masalah klien dalam term “defisit ketrampilan”.
ü State : tahap 3, menyatakan tujuan dan merencanakan tindakan. Pada tahap ini konselor mengupayakan dua hal, yakni: merumuskan dan menyatakan defisit ketrampilan sebagai tujuan. Disamping itu konselor bersama klien juga memilih dan menetapkan cara mencapai tujuan.
ü Intervene : tahap 4, intervensi untuk mengembangkan ketrampilan hidup. Konselor ktrampilan hidup adalah pendidik perkembangan, karena itu perlu menguasai tidak hanya ketrampilan menjalin relasi supportif, tetapi juga ketrampilan dan metode pelatihan yang memadai. Oleh karena itu metode intervensi yang digunakan adalah metode edukasi, pelatihan psikologis dan juga metode pembelajaran.
ü Emphasize : tahap 5, menekankan tugas rumah dan akhir konseling. Pada tahap ini konselor membantu klien mentransfer dan mempertahankan ketrampilan dengan cara-cara mengembangkan kemampuan instruksi diri (self-instruction), bekerja dengan situasi real life selama sesi konseling, dan menggunakan waktu antara sesi-sesi terapi untuk mendengarkan kaset dan berlatih ketrampilan.

D.  Implementasi life skills counselling  berbasis jurnal belajar untuk meningkatkan Self-regulated Learning Siswa.
Self-regulation merupakan suatu ketrampilan yang dapat ditumbuhkembangkan melalui pelatihan-pelatihan yang direncanakan dan dilaksanakan secara sistematis.  Zimmerman & Cleary (2004) merancang sebuah program pelatihan untuk meningkatkan regulasi diri dan motivasi diri siswa dalam belajar. Pelatihan ini dapat dilasanakan secara terpisah dari program pembelajaran dan bisa pula dilaksanakan secara terintegrasi dengan program pembelajaran. Sementara Lifeskills counselling merupakan upaya bantuan yang bertujuan membantu klien mengembangkan pribadi yang trampil (Jones, 2000), dengan menerapkan metode-metode pelatihan psikologis dan/atau pembelajaran yang edukatif.
Implementasi lifeskills counseling untuk meningkatkan ktrampilan regulasi diri siswa dalam belajar, dapat dibagi menjadi dua fase, yakni fase awal sebagai fase pengkondisian (penyiapan) dan fase kedua sebagai fase pelaksanaan. Fase pengkondisian terdiri dari dua langkah. Pertama, yang harus dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran siswa bahwa dirinya mengalami masalah, yakni lack of skills, khususnya ketrampilan self-regulation dan kesadaran bahwa masalah-masalah, utamanya, masalah belajar yang dialami disebabkan karena kurangnya ketrampilan tersebut. Hal ini menjadi langkah strategis awal yang penting, mengingat kebanyakan siswa tidak menyadari  bahwa kekurangan ketrampilan self-regulation adalah masalah dan sekaligus menjadi sumber banyak masalah yang jika tidak segera ditanggulangi akan menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan perkembangan sehat pribadinya dan bagi pengembangan potensi-potensinya. Kesadaran klien tersebut dibangun oleh konselor dengan cara mengembangkan suasana empati, kehangatan dan ketulusan untuk menjalin relasi supportif dengan klien, dalam rangka mengidentifikasi dan memperoleh gambaran problem ketrampilan klien secara lebih utuh. Langkah kedua adalah menumbuhkan minat klien untuk belajar dan berlatih self-regulation, atau dengan kata lain menumbuhkan ketertarikan (interes) klien  untuk secara aktif terlibat dalam proses pelatihan self-regulation yang akan dilaksanakan. Hal ini sangat penting dilakukan, karena ketiadaan minat klien akan mengurangi kemanfaatan pelatihan yang dicanangkan. Langkah ini diawali dengan melakukan investigasi atas proposisi atau hipotesis tentang bagaimana klien berpikir dan bertindak yang mendasari masalahnya kemudian diakhiri dengan merumuskan kembali masalah klien dalam term “defisit ketrampilan”. Dengan mengetahui latar belakang masalah dan defisit ketrampilan spesifik yang dialami, klien akan termotivasi untuk terlibat secara aktif dalam proses-proses selanjutnya.
Fase pelaksanaan meliputi tiga langkah yang bersifat siklis. Pertama, klien berlatih menetapkan dan merumuskan tujuan dalam bentuk hasil-hasil belajar atau penampilan khusus yang ingin dicapai serta merencanakan strategi-strategi pencapai yang akan digunakan. Bersamaan dengan itu, konselor membantu menumbuhkan efikasi diri klien, membantu mengembangkan orientasi tujuan serta harapan-harapan akan keberhasilan klien. Langkah pertama pada fase pelaksanaan ini pada hakikatnya merupakan implementasi tahap “State” pada lifeskills counseling untuk mengefektifkan pelaksanaan fase “Forethought” pada siklus self-regulated learning, karena telah diawali dengan penyadaran akan masalah “lack of skills” klien. Kedua,  dengan metode-metode pelatihan psikologis, konselor menjalankan intervensi untuk melatih klien membuat instruksi diri, membuat gambaran mental (imagery), memusatkan perhatian pada tujuan yang telah ditetapkan, dan menjalankan strategi-strategi tugas secara konsisten. Di samping itu, klien juga dilatih cara mengisi lembar observasi diri untuk merekam bukti-bukti kemajuan diri yang telah dicapai. Lifeskills counseling identik dengan pelatihan ketrampilan, karena menurut Jones (2000) konselor adalah pendidik perkembangan atau dalam bahasa kolokasi adalah pelatih yang ramah pengguna (user-friendly coach). Oleh karena itu penggunaan metode pelatihan psikologis merupakan sebuah keniscayaan dalam proses konseling. Langkah ketiga terdiri dari dua sesi, yakni: 1) sesi transfer. Pada sesi ini klien berlatih menerapkan dan mempertahankan ktrampilan regulasi diri pada situasi real life selama konseling; 2) sesi reaksi diri. Setelah klien mempraktikkan ketrampilan regulasi diri pada situasi real life, klien dilatih mengembangkan pola-pola self-reflection yang positif. Klien diminta membandingkan hasil yang telah dicapai dengan standar tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, dilatih mengidentifikasi faktor-faktor penyebeb keberhasilan atau kegagalan dirinya mencapai tujuan, dilatih melakukan peneguhan diri dengan self-talk, serta melakukan adaptasi atas strategi-strategi pencapaian tujuan.
Paparan di atas merupakan pemaduan antara model konseling “DASIE” lima tahap dengan siklus self-regulated learning dalam rangka mengembangkan ketrampilan self-regulated learning siswa berbasis life skills counseling. Adapun kerangka konseptual atau model dari konsep di atas dapat divisualisasikan sebagaimana gambar berikut ini.

III.        METODE PENELITIAN

A.      Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian quasi-experiment, yakni penelitian eksperimen yang dilaksanakan dalam setting alamiah, tetapi variabel-variabel yang diteliti masih diisolasi, dikendalikan dan dimanipulasi (Cohen, dkk., 2011: 315). Dalam penelitian quasi-experiment penempatan atau pengambilan subjek penelitiannya tidak bisa dilakukan secara acak (Campbell & Stanley, 1966: 34). Subjek penelitian dalam quasi-experiment diambil dari latar alami seperti apa adanya, sehingga dalam kondisi seperti itu banyak faktor (variabel) lain yang dikhawatirkan mempengaruhi perubahan-perubahan pada variabel tergantung yang pada gilirannya akan mengurangi validitas hasil penelitian itu sendiri. Meskipun demikian, validitas penelitian dalam quasi-experiment, masih bisa diupayakan dengan menerapkan teknik-teknik tertentu untuk mengendalikan atau paling tidak untuk mengurangi berbagai gangguan yang dapat mengancam validitas internal penelitian dengan desain ini (Fraenkel & Wallen, 2006:277).
Adapun rancangan eksperiment yang akan digunakan adalah The one-group time series design. Desain ini dilaksanakan dengan cara memberikan beberapa kali pre-test terhadap kelompok eksperimen, kemudian diikuti dengan memberikan perlakuan atau treatmen tertentu. Selanjutnya dilakukan beberapa kali post-test. Pemberian pre-test dan post-test yang berulang-ulang membuat desain ini memiliki tingkat reliabiltas yang lebih tinggi dibandingkan dengan desain-desain quasi-experiment lainnya (Cohen, dkk., 2011:323).
Adapun rancangan penelitian tersebut dapat divisualisasikan sebagai berikut:


Experiment     O1     O2     O3     O4     X    O5        O6     O7     O8    
Gambar 1: bentuk time series design
Keterangan:
O1 – O4       : Observasi sebelum perlakuan
X                : Perlakuan / treatment
O5 – O8       : Observasi setelah perlakuan

B.       Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini terdiri dari 20 orang siswa SMP yang dipilih secara purpossive. Adapun kriteria pemilihan subjek didasarkan pada 2 (dua) kriteria pokok, yakni: tingkat ketrampilan SRL dan prestasi belajar. Ke-20 subjek penelitian ini memiliki kemampuan SRL dan prestasi belajar yang rendah. Hal ini dilakukan karena penelitian ini ditujukan untuk menguji efektivitas lifeskills counselling berbasis jurnal belajar untuk meningkatkan ketrampilan SRL siswa.
C.       Instrumen Penelitian
Penelitian ini menerapkan dua bentuk instrumen penelitian, yakni:
1.    Skala Pengaturan Diri dalam Belajar (SPDB). Skala ini akan dikembangkan peneliti berdasarkan konstruk komponen dan siklus SRL yang dikembangkan Zimmerman (Zimmerman, B.J. & Moylan, Adam R., 2009).
2.    Prestasi belajar. Data prestasi belajar subjek penelitian diperoleh dari hasil ujian akhir semester (UAS) dan ujian kenaikan kelas (UKK) dari mata pelajaran yang .

D.      Prosedur treatment
Rancangan treatment yang akan diterapkan dalam rencana penelitian ini akan mengikuti model siklus self-regulated Learning dari Zimmerman. Klien akan diperkenalkan dan dilatih strategi SRL yang berbeda setiap minggu dan kemudian diulang, disamping itu klien juga dilatih merekam rencana strategi SRL yang akan diterapkan ke dalam sebuah jurnal belajar.
Minggu ke I dan ke II akan difokuskan pada fase pengkondisian, yakni melaksanakan tahap pertama dan kedua dari tahap lifeskills counselling, yaitu tahap develope dan asses dalam rangka mengeksplor dan merumuskan problem klien dalam term defisit ketrampilan dan membangun kesadaran klien akan masalahnya dan pentingnya memiliki ketrampilan self-regulated learning.
Minggu ke III: setelah semua partisipan melewati fase pengkondisian, intervensi akan dilakukan. Pada minggu ini partisipan akan menetapkan kekurang trampilannya dalam SRL menjadi tujuan konseling.
Minggu ke IV: partisipan akan diperkenalkan dan dilatih mengenai analisis tugas (Task Analysis), yang meliputi goal setting terkait aktivitas-aktivitas belajarnya; kemudian dilanjutkan  dengan strategic planning. Kemudian klien diminta menuliskan tujuan dan rencana strategis yang disusunnnya ke dalam jurnal belajar yang disediakan konselor.
Minggu ke V: klien diperkenalkan dan dilatih aktivitas (strategi-strategi) kognitif, yang mencakup: strategi rehersal, elaborasi dan organisasi materi pelajaran. Klien juga dimita menuliskan strategi yang akan digunakan dan menuliskan hasilnya ke dalam jurnal belajar.
Minggu ke VI: klien diperkenalkan dan dilatih strategi-strategi pengelolaan sumber daya, yang meliputi: mengatur lingkungan belajar, mengelola waktu belajar dan mencari bantuan.
Minggu ke VI: klien diperkenalkan dan dilatih mengisi lembar monitoring diri dan lembar evaluasi diri.
Siklus pada minggu ke III hingga ke VI akan diulangi sesuai dengan siklus yang disarankan oleh Zimmerman.
E.       Pengukuran / observasi
Selaras dengan desain penelitian ini yang menggunakan time series, maka pelaksanaan pengukuran atau observasi dilakukan beberapa kali baik sebelum maupunsesudah perlakuan. Di dalam penelitian direncanakan melakukan pengukuran sebanyak 2 kali sebelum perlakuan dan 2 kali sesudah perlakuan.



DAFTAR RUJUKAN
Adeiza, M., 2010. Communities and Character in an Age of Globalization: The Family Option. http://www.firstprinciplesjournal.com/articles.aspx? article=1400&loc=r . Diakses pada tanggal 14 Nopember 2011.
Al Khatib, Saleh Ahmed. (2010).  Meta-cognitive self-regulated learning and motivational beliefs as predictors of college students’ performance. International Journal for Research in Education (IJRE), NO. 27, 57-72.
Arsal, Zeki. (2010) The effects of diaries on self-regulation strategies of preservice science teachers. International Journal of Environmental & Science Education Vol. 5, No. 1, 85-103.
Bauer, Isabelle M. & Baumeister, Roy F., 2011. Self-Regulatory Strength dalam Vohs, K.D. &  Baumeister, Roy F (Ed.), Handbook of  Self-Regulation. New York: The Guilford Press.

Bembenutty, Héfer. (2010). Homework Completion: The Role of Self-efficacy, Delay of Gratification, and Self-Regulatory Processes. The International Journal of Educational and Psychological Assessment, Vol. 6(1).

Campbell, DT. & Stanley, JC., 1966. Experimental And Quasi-Experiment Designs For Research. Boston: Houghton Mifflin Company.

Chen, Caattheriine S. 2002. Self-regulated Learning Strategies and Achievement in an Introduction to Information Systems Course. Information Technology, Learning, and Performance Journal, Vol. 20, No. 1, 11-25.

Cheng, Eric C. K. (2011). The Role of Self-regulated Learning in Enhancing Learning Performance. The International Journal of Research and Review, Volume 6 Issue 1, 1-16.

Cohen, L., Manion, L. & Morisson, K., 2011. Research Methods In Education, 7th ed. London: Routledge.

Çubukçu, Feryal. 2008. A Study On The Correlation Between Self Efficacy And Foreign Language Learning Anxiety. Journal of Theory and Practice in Education. 4 (1):148-158.

Driscoll, Mary P., 2005.  Psychology of Learning for Instruction, 3rd ed. Boston: Pearson Education, Inc.

Fraenkel, JR. & Wallen, NE., 2006. How To Design And Evaluate Research In Education, 6th ed. New York: McGraw Hill.
Gläser-Zikuda, M., Fendler, J., Noack, J. & Ziegelbauer, S. (2011). Fostering Self-Regulated Learning With Portfolios In Schools And Higher Education. ORBIS SCHOLAE, Vol. 5, No. 2, pp. 67–78.

Handarini, D.M., 2011. Membedah Perilaku Manusia Indonesia Modern di Era Globalisasi: Suatu Pendekatan Holistik Multidisipliner untuk Menjawab Tantangan Jaman. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Membedah Perilaku Indonesia Modern di Era Globalisasi, Fakultas Psikologi Universitas Pelita Harapan, Surabaya, 13 Nopember.

Hübner, Sandra, 2009. Learning Journals As Medium Of Self-Regulated Learning: How to Design Instructional Support to Overcome Strategy Deficits?, Disertasi, Departemen Psikologi, Universitas Albert Ludwigs: Freiburg, (Online), (http://www.freidok.uni-freiburg.de/volltexte/7179/ pdf/Diss_RP_huebner_finale_UB.pdf), diakses tgl. 01 Mei 2012.

Jones, Richard N., 2000. Lifeskills Counselling. dalam Introduction to Counselling and Psychotherapy: the Essential Guide, Stephen Palmer (Ed.). London: Sage Publication.

Jones, Richard N., 2005. Practical Counselling and Helping skills: text and activities for the lifeskills counselling model, 5th. ed. London: Sage Publication.

Law, Yin-kum; Chan, Carol K. K. & Sachs, John. (2008). Beliefs about learning, self-regulated strategies and text comprehension among Chinese children. British Journal of Educational Psychology, 78, 51–73.

Lucy Barnard-Brak; William Y. Lan and Valerie Osland Paton. (2010). Profiles in Self-Regulated Learning in the Online Learning Environment. International Review of Research in Open and Distance Learning, Volume 11, Number 1, 61-79.

Kadhiravan, S & Suresh, V, 2008. Self-Regulated Behaviour at Work. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology. Vol. 34, Special Issue, 126-131.

Kosnin, Azlina Mohd. (2007). Self-regulated learning and academic achievement in Malaysian undergraduates. International Education Journal, 8(1), 221-228.

Krebs, Saskia S. dan Roebers, Claudia M. (2010). Children's strategic regulation, metacognitive monitoring, and control processes during test taking. British Journal of Educational Psychology, 80. 325-340.

Masui1, Chris & De Corte, Erik. (2005). Learning to reflect and to attribute constructively as basic components of self-regulated learning. British Journal of Educational Psychology, 75, 351–372.

McLeod, John., 2010. Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. Alih Bahasa: A. K. Anwar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Mih, Codruţa & Mih, Viorel. (2010). Components Of Self-Regulated Learning; Implications For School Performance. Acta Didactica Napocensia, Volume 3, Number 1.
Nu¨ckles, M.; Hu¨bner, S. & Renkl, A. (2009). Enhancing self-regulated learning by writing learning protocols. Learning and Instruction 19, 259-271.
Núñez, J. C.; Cerezo, R.; González-Pienda, J. A.; Rosário, P.; Valle, A.; Fernández, E.& Suárez, N. (2011). Implementation of training programs in self-regulated learning strategies in Moodle format: Results of a experience in higher education. Psicothema, Vol. 23, nº 2, pp. 274-281.

Shih, Hui-Ru; Zheng, Wei; Leggette, Evelyn J. & Skelton, G., 2011. Enhancing Student Performance By Promoting Self-Regulated Learning. Proceedings of the ASME 2011 International Mechanical Engineering Congress & Exposition, November 11-17, Denver, Colorado, USA.

Schunk, DH., 2012. Learning Theories: An Educational Perspective. Boston: Allyn & Bacon. Dari Gigapedia, (Online), (http://www.gigapedia.com), diakses 18 September 2011.

Tavakolizadeh, J. & Qavam, S.E., 2011. Effect of teaching of self-regulated learning strategies on attribution styles in students. Electronic Journal of Research in Educational Psychology, 9(3), 1087-1102.

Wolters, Christopher A., 2010. Self-Regulated Learning and the 21st Century Competencies. Department of  Educational Psychology University of Houston, (Online), (http://www.hewlett.org/library/grantee-publication), diakses 29 April 2012.

Zimmerman, Barry J. 1990. Self-Regulated Learning and Academic Achieve-ment: An Overview. Educational Psychologist, 25(1), 3-17.

Zimmerman, Barry J. 2000. Attaining Self-Regulation: A Social Cognitive Perspective, dalam Handbook of Self-Regulation. Editor: Boekaerts, M.,  Pintrich. Paul R. & Zeidner, M. USA: Academic Press.  

Zimmerman, Barry J & Cleary, Thimothy J., 2004. Self-Regulation Empowerment Program: A School-Based Program To Enhance Self-Regulated And Self-Motivated Cycles Of Student Learning. Psychology in the Schools, Vol. 41(5), 537-550.

Zimmerman, Barry J. & Moylan, Adam R. 2009. Self-Regulation: Where Metacognition and Motivation Intersect, dalam Douglas J. Hacker, John Dunlosky & Arthur C. Graesser (Eds.) Handbook of Metacognition in Education (hal. 299-315). New York: Routledge.



[3] http://repository.upi.edu/operator/upload/s_a5051_0608865_chapter2.pdf
[4] http://www-wds.worldbank.orgexternaldefaultWDSContentServerWDSPIB201104120003 33037_ 20110412010953RenderedPDF609610BRI0BAHA10Box358333B01PUBLIC1.pdf.

1 komentar: