IMPLEMENTASI LIFE SKILLS COUNSELING
BERBASIS JURNAL BELAJAR UNTUK
MENINGKATKAN SELF-REGULATIED LEARNING
SISWA SMP
Oleh: Moh. Mahfudz Faqih
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Globalisasi
merupakan sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan. Setiap bangsan dan negara
pasti akan menghadapi gelombang globalisasi, kini atau di waktu-waktu
mendatang, karena globalisasi merupakan salah satu tahap perkembangan
kebudayaan manusia.
Globalisasi
ditandai dengan adanya peningkatan
integrasi ekonomi dan masyarakat di seluruh dunia, melampaui batas-batas
negara, khususnya melalui perdagangan internasional dan aliran modal, ide-ide
dan orang. Globalisasi mencakup transfer budaya dan teknologi, dan pengembangan
regulasi internasional. Dalam kondisi seperti ini batas-batas antar negara
menjadi susut atau bahkan “hilang”. Adeiza (2010) menyebutnya sebagai “desa global” di
mana kehidupan kita sehari-hari secara signifikan dipengaruhi oleh produk,
layanan, dan gambar yang berasal dari negara dan budaya lain. Dengan kata lain,
era globalisasi memaksa setiap komunitas menjadi masyarakat terbuka yang
memiliki peluang untuk mempengaruhi ataupun dipengaruhi komunitas masyarakat
lainnya dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam
struktur masyarakat terbuka seperti itu, yang lebih besear kecenderungannya
terpapar pengaruh negatif globalisisasi adalah masyarakat berkembang. Beberapa
pengaruh negatif globalisasi sebagaimana diuraikan Pillai (dalam Handarini,
D.M., 2011) antara lain: negara berkembang “diserbu” pekerja, eksploitasi
buruh, ketidakstabilan kerja, meningkatnya polusi, menyebarnya makanan cepat
saji ke berbagai pelosok, meningkatnya penyakit menular yang mematikan,
banyaknya industri lokal yang diambil alih PMA, meluasnya aspek negatif budaya
asing melalui TV dan internet.
Golongan
masyarakat yang paling rentan terpapar pengaruh negatif globalisasi adalah
remaja. Hal ini disebabkan karena remaja berada dalam masa transisi dan
pencarian identitas diri. Dalam proses ini remaja cenderung meniru berbagai perilaku dan/atau sikap-sikap di
luar dirinya. Di sisi lain remaja adalah individu-individu yang berada dalam
proses menjdi (on becoming) dalam
komunitas masayarakat yang terus berkembang menuju dan mengikuti globalisasi
yang niscaya. Karena itu proses be coming
mereka akan terganggu bilamana mereka tidak memiliki karakter intrapersonal dan
interpersonal yg dibutuhkan untuk bisa survive dalam arus globalisasi
tersebut.
Era
globalisasi, salah satunya, ditandai munculnya perdagangan bebas. Era free trade area ini akan efektif
diberlakukan pada tahun 2020 yang akan datang, dimana setiap negara di dunia
memiliki akses sebebas-beasnya menjual dan membeli barang dan jasa serta
berinvestasi di negara lain. Dengan demikian, barang dan jasa, temasuk jasa
tenaga ahli akan bebas memasuki negara manapun. Dalam kondisi seperti ini daya
saing suatu negara dalam hal kualitas barang produksi dan tenaga profesional
akan menentukan tingkat marketable barang
dan jasa negara tersebut, baik terhadap industri domistik lebih-lebih terhadap
negara lain. Dengan kata lain, free trade
area memberi peluang menguntungkan hanya bagi negara-negara yang memiliki tenaga
kerja dengan kualifikasi profesional.
Fakta
lain yang perlu disikapi adalah perkembangan sains dan teknologi yang begitu
cepat. Abad 21 merupakan era informasi yang terus bergerak menuju era
pengetahuan (knowledge age), dimana pengetahuan
(knowledge) dijadikan penopang utama
setiap aktivitas ekonomi, sehingga muncul istilah ekonomi berbasis pengetahuan
(knowledge based economy) atau yang
populer dikenal dengan ekonomi kreatif (creative
economy), yakni suatu tatanan ekonomi yang ditopang dengan keunggulan
budaya, seni dan inovasi teknologi.
Abad
21 juga menuntut kompetensi-kompotensi spesifik, diantaranya: 1) mengatur dan
menyeimbangkan tujuan-tujuan diri sendiri; 2) memulai dan mengarahkan
aktivitas-aktivitas diri sendiri; 3) bekerja secara independen; 4) adaptabilitas,
yakni kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan berbagai peran, tanggungjawab
dan konteks, termasuk juga kemampuan untuk bekerja secara efektif dalam konteks
yang membingungkan, serta fleksibel dalam memasukkan feedback; 5)
komunikasi dan kolaborasi (Ananiadou & Claro, 2009; Partnership for 21st
Century Skills, 2009a, 2009b, dalam Wolters, 2010). Berbagai kompetensi
tersebut dipandang memiliki banyak kesamaan konseptual dengan ketrampilan SRL (Wolters,
2010).
Konsekuensi dari rangkaian
perkembangan sains dan teknologi yang melahirkan era ekonomi kreatif tersebut
adalah semakin pesatnya perkembangan pengetahuan dan laju arus informasi. Pada
akhirnya, kondisi ini akan melahirkan kebutuhan akan adanya bentuk-bentuk
pekerjaan baru yang hanya dapat dikerjakan oleh tenaga-tenaga yang
berpengetahuan dan berketrampilan khusus (skilled
worker). Dengan kata lain, konsekuensi dari adanya ekonomi kreatif dan
kerangka kompetensi abad 21ini adalah adanya tuntutan profil individu dan ketenagakerjaan
yang semakin kompleks dan selaras dengan perubahan tersebut.
Sementara
di sisi lain, prilaku dan kebiasaan belajar siswa dan beberapa atribut yang
terkait menunjukkan kecenderungan yang kurang menggembirakan. Salah satu bentuk
prilaku dan kebiasaan negatif dalam belajar adalah prilaku “nyontek (cheating)” saat ujian. Nugroho (2008)
mengutip sebuah artikel dalam harian Jawa Pos yang memuat hasil poling yang
dilakukannya mengenai prilaku menyontek siswa-siswi SMP di Surabaya menunjukkan
sebagian besar siswa terbiasa “nyontek” saat ujian. Data itu menyebutkan bahwa,
jumlah penyontek langsung tanpa malu-malu kucing mencapai 89,6 %, langsung
bertanya kepada teman mencapai 46,5 %. Sedangkan 20 persen lebih berhati-hati dengan
cara memakai kode dan 14,9 % mengandalkan lirikan. Untuk jumlah responden yang
lulus dari “sensor” guru, sejumlah 65,3 %[1]. Bahkan
dalam skala yang lebih luas, survey mengenai masalah cheating ini dilakukan oleh Litbang Media Group Pada tahun 2007
yang di melibatkan enam kota besar di Indonesia yaitu: Makassar, Surabaya,
Yogyakarta, Bandung, jakarta, dan Medan, menunjukkan bahwa hampir 70 % dari 480
responden menyatakan pernah melakukan cheating
saat masih di bangku sekolah[2].
Menurut
Anderman & Murdock (2007)[3] Prilaku
mencontek terjadi karena siswa cenderung malas berfikir kompleks dan tidak tahu
bagaimana menggunakan strategi belajar efektif yang meliputi self-regulated learning dan strategi
kognitif.
Dalam
aspek prestasi belajarpun siswa-siswa di Indonesia berada di bawah rata-rata
internasional. Hal ini sebagaimana terungkap dalam kajian yang dilakukan oleh
Bank Dunia bekerjasama dengan Kementrian Agama RI terhadap 50 Madrasah di pulau
jawa, 50 Madarasah di bagian Barat Indonesia, dan 50 Madrasah di bagian timur
Indonesia[4].
Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa-siswa Madrasah di
tiga wilayah tersebut pada mata pelajaran Matematika, IPA, dan Bhs. Inggris
berada di bawah rata-rata prestasi siswa internasional.
Prestasi
belajar tinggi merupakan salah satu ciri pebelajar yang menggunakan strategi self-regulated learning. Hasil
peneilitian Pintrich & DeGroot, 1990; VanZile-Tamsen & Livingston, 1999
(Chen, 2002) mengungkapkan bahwa siswa-siswa yang berprestasi tinggi lebih
sering menggunakan strategi self-regulated
learning daripada siswa yang berprestasi rendah. Hal tersebut didukung
hasil penelitian Zimmerman dan Schunk (dalam
Zimmerman, 1990) yang menunjukkan bahwa siswa yang memperoleh prestasi belajar
yang tinggi adalah siswa yang mampu melakukan perencanaan dan menentukan tujuan
yang akan dicapai.
Hasil-hasil
penelitian mutakhir juga memperkuat hasil penelitian di atas bahwa ketrampilan self-regulated learning berkorelasi dan berpengaruh terhadap
kinerja atau prestasi akademik peserta didik (Kosnin, 2007; Krebs,
dkk., 2010; Cheng, 2011; Núñez, dkk., 2011). Hasil penelitian Lucy Barnard-Brak, dkk., (2010) membuktikan bahwa siswa-siswa dengan profil SRL “competent self-regulators” dan
“super self-regulators” menunjukkan prestasi belajar yang tinggi, sedangkan
siswa-siswa dengan profil non
self-regulator atau minimal self-regulator serta siswa dengan profil disorganized self-regulators, sama-sama menunjukkan tingkat prestasi yang
rendah.
Di samping itu, beberapa peneliti yang menyelidiki
pengaruh penerapan komponen-komponen SRL terhadap prestasi belajar juga
memperkuat hasil-hasil penelitian di atas. Misalnya, keyakinan-keyakinan belajar
berkorelasi dengan ketrampilan strategi SRL dan kemampuan memahami bacaan (Law,
Yin-kum dkk., 2008); metakognisi SRL dan keyakinan-keyakinan motivasi
berkorelasi dengan performen akademik mahasiswa (Al Khatib, S., 2010); pelatihan refleksi dan atribusi berpengaruh terhadap
peningkatan aktivitas-aktivitas belajar metakognitif dan konatif mahasiswa
serta berpengaruh positif terhadap peningkatan prestasi akademik mereka (Masui1, C. & De Corte, E., 2005); Minat intrinsik terhadap pelajaran berpengaruh langsung pada SRL
mahasiswa, dan melalui SRL mempengaruhi homework
completion, tingkat nilai UTS dan
UAS (Bembenutty,
H., 2010).
Memperhatikan
beberapa fakta di atas, sangatlah mendesak untuk menyiapkan siswa dengan
berbagai ketrampilan, baik intrapersonal maupun interpersonal. Dengan bekal
ketrampilan-ketrampilan tersebut, diharapkan siswa akan mampu berkompetisi
secara sehat dalam dunia yang semakin menggelobal ini. Salah satu ketrampilan
yang sangat urgen adalah ketrampilan self-regulated
learning.
Self-regulated learning adalah sebuah proses aktif yang dapat diterapkan dimana
peserta didik menetapkan tujuan-tujuan untuk belajar mereka dan kemudian
berusaha memonitor, mengatur, dan mengontrol kognisi, motivasi, dan perilaku
mereka (Pintrick, dalam Arsal, Z., 2010). SRL merupakan ketrampilan yang dapat dipelajari dan dilatihkan secara
efektif pada siswa-siswa di berbagai tingkatan akademik, mulai dari tingkat dasar
hingga pendidikan tinggi (Wolters, 2010). Kesimpulan Wolters
tersebut didasarkan pada hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan para
peneliti. Namun demikian, menurut Zimmerman (2002) pada usia-usia sekolah dasar
awal siswa tidak terlalu diharapkan untuk terlibat dalam pengalaman SRL di luar
kelas seperti penyelesaian PR, baru pada kelas-kelas berikutnya guru lebih
sering memberikan pekerjaan rumah untuk diselesaikan di luar kelas.
Lebih lanjut Zimmerman (2002) menegaskan bahwa
meskipun para guru dan orang tua berusaha mengembangkan SRL siswa-siswa sekolah
dasar melalui pekerjaan rumah yang ditugaskan, transisi dari sosial (external
regulation) menuju pengaturan diri sering mengalami kegagalan. Hal
ini diperkuat dengan temuan penelitian Mih, Codruţa & Mih, Viorel (2010) bahwa pemrosesan dan penggunaan strategi-strategi
kognitif yang lebih dalam menunjukkan perbedaan yang signifikan diantara siswa-siswa
kelas 6 dan kelas-kelas di atasnya (kelas 8, 10, 12). Artinya, siswa lebih
sering menerapkan pemrosesan dan strategi-strategi kognitif yang lebih dalam
setelah usia sekolah mereka bertambah.
Hal ini dapat
dimengerti mengingat siswa-siswa SMP pada kelas-kelas awal sudah lebih dituntut
untuk mengembangkan tanggungjawab pribadi meskipun perkembangan regulasi diri
mereka masih terbatas. Berdasarkan pendapat di atas, penulis simpulkan bahwa
pengembangan SRL lebih efektif dilakukan pada siswa-siswa SMP.
Salah satu cara yang dapat ditempuh
untuk meningkatkan ketrampilan self-regulated
learning adalah penggunaan
format-format harian, sebagaimana disarankan oleh Zimmerman, dkk. (Arsal,
Z., 2010).
Beberapa bentuk format harian yang sering digunakan
untuk kepentingan tersebut adalah “menulis diary dan jurnal”.
Dalam
setting sekolah, guru termasuk konselor sekolah, bertang-gungjawab untuk
membekali murid-muridnya dengan berbagai kompetensi dan ketrampilan yang
dibutuhkan untuk keberlanjutan tumbuhkembang mereka. Tanggungjawab untuk mengembangkan
peserta didik secara utuh dan optimal sesungguhnya merupakan tugas bersama yang
harus dilaksanakan oleh guru, konselor, dan tenaga pendidik lainnya sebagai
mitra kerja, sementara itu masing-masing pihak tetap memiliki wilayah layanan
khusus dalam mendukung realisasi diri dan pencapaian kompetensi peserta didik.
Guru bidang studi bertugas mengupayakan tercapainya Standar Kompetensi Lulusan
(SKL) melalui proses pembelajaran bidang studi, sedangkan konselor sekolah
membantu siswa mencapai Standar Kompetensi Kemandirian (SKK) melalui pelayanan
bimbingan dan konseling yang memandirikan. Oleh karena itu, kerjasama antara
konselor dengan guru merupakan suatu keharusan. Dalam rambu-rambu
penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling yang di rumuskan oleh ABKIN dan Dirjen
PMPTK (2007), hubungan fungsional kemitraan antara guru dan konselor secara
jelas dilukiskan dalam gambar berikut:
|
Standar
Kompetensi Kemandirian utk mewujudkan diri (akademik,
karir, sosial, pribadi)
(Bimbingan dan Konseling)
|
Misi bersama guru dan konselor dalam
memfasilitasi perkembangan peserta didik seutuhnya dan pencapaian tujuan
pendidikan nasional
|
Standar
Kompetensi Lulusan mata pelajaran
(Pembelajaran
bidang studi)
|
||||||
|
|
|
Gambar 1.
Kesamaan dan Keunikan Wilayah Kerja Konselor dan Guru
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dirumuskan
masalah-masalah penelitian sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah
tingkat ketrampilan self-regulated
learning siswa SMP ?
2.
Apakah lifeskills counselling berbasis jurnal belajar efektif
meningkatkan ketrampilan self-regulated
learning siswa SMP?
3.
Apakah
ketrampilan self-regulated learning efektif meningkatkan prestasi belajar siswa ?
C. Tujuan
Penelitian
Tujuan utama
penelitian ini adalah untuk:
1.
Mengetahui
tingkat ketrampilan self-regulated
learning siswa SMP.
2.
Mengetahui efektifitas implementasi lifeskills
counselling berbasis
jurnal belajar dalam meningkatkan ketrampilan self-regulated learning siswa
SMP.
3. Mengetahui
efektifitas ketrampilan self-regulated
learning dalam meningkatkan prestasi
belajar siswa.
II.
KERANGKA
TEORETIK
A.
Self-Regulated Learning
Self-regulation merupakan salah satu tema sentral dalam teori kognisi
sosial. Menurut Bandura, (dalam Zimmerman, 2000) Self-regulation merupakan interaksi proses-proses triadic dari
faktor personal, prilaku, dan lingkungan. Dalam perspektif teori ini, Self-regulation menunjuk pada aktivasi
pikiran-pikiran, perasaan-perasaan dan tindakan-tindakan yang direncanakan dan
secara siklikal diadaptasikan untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi (Zimmerman,
2000). Pintrich merumuskannya sebagai proses-proses
aktif-konstruktif dimana seseorang menetapkan tujuan-tujuan bagi
belajar/pekerjaan/hidupnya dan kemudian berupaya memantau, mengatur, dan
mengendalikan pikiran, motivasi dan prilaku mereka yang dipandu dan dibatasi
oleh tujuan-tujuan mereka dan segi-segi kontekstual dari lingkungan (dalam Kadhiravan,
S & Suresh, V, 2008).
Sedangkan self-regulated learning didefinisikan sebagai kemampuan
berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran dari sudut pandang meta-kognisi,
motivasi dan perilaku (Zimmerman, dalam Tavakolizadeh, J. & Qavam, S.E.,
2011). Sementara Pintrick (dalam, Shih, Hui-Ru; dkk., 2011) merumuskannya sebagai
proses-proses aktif-konstruktif dimana
seseorang menetapkan tujuan bagi belajar mereka kemudian berupaya memantau,
mengatur, dan mengendalikan pikiran, motivasi dan prilakunya yang dipandu dan
dibatasi oleh tujuan-tujuan mereka dan segi-segi kontekstual dari lingkungan.
Siswa-siswa dengan SRL yang baik akan mengambil inisiatif pribadi, menerapkan
strategi yang ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan belajar yang dinilai secara
individu dan memantau pemahaman mereka untuk mendeteksi dan menghilangkan
masalah pemahaman yang mungkin dialami (Paris & Paris, 2001; Schraw, 1998;
Zimmerman, 2002, dalam Nu¨ckles, M.; Hu¨bner, S. &
Renkl, A., 2009).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa self-regulated learning adalah
kemampuan seseorang untuk mengontrol dan mempengaruhi proses belajarnya sendiri
secara positif. SRL berkaitan dengan penetapan tujuan dan
orientasi-orientasi tujuan individu,
yang menggerakkannya secara sadar dan aktif untuk menyusun rencana dan strategi
pencapaian; diikuti dengan upaya koordinasi dan pendayagunaan segenap potensi
pikiran, emosi dan prilaku menuju tujuan yang ditetapkan.
Dalam perspektif teori ‘kognisi sosial’ self-regulated learning memiliki
dan berjalan di atas tiga komponen (Zimmerman, 2000). Pertama, Forethought.
Komponen
ini mengacu pada proses-proses yang berpengaruh yang mendahului tindakan, dan
proses menetapkan tahapan pencapaiannya. Komponen pemikiran ini meliputi dua
sub komponen yang berbeda, yakni: 1) task
analysis; dan 2) self-motivational
beliefs. Wujud dari task analysis
berupa kegiatan penetapan tujuan. Ini berarti individu membuat keputusan
tentang hasil-hasil belajar atau penampilan khusus yang ingin dicapai. Bentuk
analisis tugas yang kedua adalah menyusun dan menetapkan rencana strategi pencapaian
(strategic planning). Penetapan
strategi pencapaian yang akurat akan meningkatkan kinerja atau performen
individu melalui mekanisme bantuan pada kognisi, mengendalikan pengaruh, dan
mengarahkan pelaksanaan tindakan (Pressley & Wolloshyn, dalam Zimmerman,
2000). Sedangkan self-motivational
beliefs mengacu pada sejumlah atribut internal yang bahkan mendasari proses
penetapan tujuan dan penyusunan rencana strategi pencapaian, yang meliputi: self-efficacy, ekspektasi hasil, minat atau nilai intrinsik,
dan orientasi tujuan.
Self-efficacy
mengacu pada penilaian orang mengenai kemampuannya mengorganisir dan
melaksanakan serangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai jenis hasil
atau kinerja yang telah ditetapkan (Bandura, dalam Çubukçu,
2008). Sedangkan ekspektasi hasil mengacu pada keyakinan tentang hasil akhir
dari suatu kinerja (Zimmerman, 2000). Minat intrinsik merupakan kondisi dimana
individu termotivasi secara internal sebagai pengaruh dari tujuan-tujuan yang
ditetapkannya, sebagaimana dikatakan Bandura (1977) bahwa tujuan-tujuan yang
ditetapkan secara aktif dapat menjadi sumber penting bagi motivasi (dalam
Driscoll, 2005). Orientasi tujuan individu meliputi dua tipe orientasi, yakni: performance goal dan learning goal (Driscoll, 2005). Performance goal adalah tujuan-tujuan
yang diorientasikan pada hasil kinerja, misalnya “saya ingin mendapatkan nilai
A pada mata pelajaran biologi”. Sedangkan learning
goal adalah tujuan yang diorientasikan pada proses, misalnya pernyataan
“saya ingin mengerti proses perkembangan makhluq hidup”.
Kedua,
Performance Or Volitional Control. Komponen
ini melibatkan proses yang terjadi selama
upaya-upaya motorik serta proses mempengaruhi perhatian dan tindakan. Komponen
ini juga memiliki dua sub komponen, yakni: 1)self-control, dan 2)self-observation.
Self-control mencakup beberapa kemampuan internal,
seperti instruksi diri, membuat gambaran mental (imagery), memusatkan perhatian, dan strategi-strategi tugas.
Proses-proses self-control tersebut
akan membantu pebelajar atau pelaku untuk fokus pada tugas dan mengoptimalkan
usaha-usaha mereka (Zimmerman, 2000). Sedangkan self-observation mengacu
pada pelacakan seseorang mengenai aspek-aspek spesifik dari kinerja mereka
sendiri, kondisi yang mengelilinginya, dan efek-efek yang dihasilkannya (Zimmerman
& Paulsen, dalam Zimmerman, 2000). Penetapan tujuan yang dilakukan pada
fase forethought mempermudah self observation, karena tujuannya
terfokus pada proses yang spesifik dan terhadap kejadian di sekelilingnya. Tedapat dua kemampuan internal yang terlibat
dalam self-observation ini, yaitu: self-recording dan self-experimentation. Catatan diri dapat menangkap informasi
pribadi pada titik dimana hal itu terjadi, menyusunnya menjadi lebih bermakna,
memelihara keakuratan tanpa perlu mengganggu latihan, dan menyediakan data base
panjang untuk membedakan bukti kemajuan.
Ketiga,
Self reflection. Komponen ini melibatkan proses yang terjadi setelah upaya tindakan atau performan
dan proses mempengaruhi respon seseorang terhadap pengalaman itu. Refleksi diri
ini, pada gilirannya, mempengaruhi pemikiran tentang upaya-upaya motorik. Komponen
ketiga dari regulasi diri meliputi dua sub komponen, yaitu: 1) self-evaluation, dan 2) self-reaction (Zimmerman, 2000). self-evaluation meliputi self judgement terhadap performance yang
ditampilkannya dalam upaya mencapai tujuan dan menjelaskan penyebab yang signifikan
terhadap hasil yang dicapainya. Self
evaluation mengarah pada upaya untuk membanding informasi yang diperolehnya
melalui self monitoring dengan
standar atau tujuan yang telah ditetapkan pada fase forethought. Proses yang
kedua yang terjadi pada fase ini adalah self reaction yang terus menerus akan
memperngaruhi fase forethought dan seringkali berdampak pada performance yang
ditampilkannya di masa mendatang terhadap tujuan yang ditetapkannya
Ketiga komponen self-regulation di atas dan siklus
kerjanya dapat divisualisasikan sebagai berikut:
|
|||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||
Gambar 1. Proses /
siklus berlangsungnya regulasi diri
Sumber: Zimmerman, B.J. & Moylan, Adam R. (2009)
Selain ketiga komponen tersebut di atas, terdapat beberapa strategi
SRL yang umum digunakan siswa-siswa dengan performen akademik yang tinggi.
Strategi tersebut, sebagaimana disarikan dari Zimmerman (1990) adalah: 1) Self Evaluating; 2) Organizing
and Transforming; 3) Goal-setting and Planning; 4) Seeking Information; 5) Keeping
Records and Monitoring; 6) Environmental Structuring; 7) Self Consequating; 8)
Rehearsing and Memorizing; 9) Seeking Social Assistance from Peers; 10) Seeking
Social Assistance from Teachers; 11) Seeking Social Assistance from Adult; 12)
Reviewing Records from note; 13) Reviewing Records from textbook; 14) Other.
B. Jurnal Belajar
Jurnal atau protokol belajar merupakan salah satu instrumen dalam
format tertulis yang ditujukan untuk memotivasi siswa mendokumentasikan dan
merefleksikan proses-proses belajar mereka. Jurnal belajar dan format tertulis
lainnya seperti learning diaries dan portfolio dipandang sangat
supportif. Bahkan Berendt
(dalam Gläser-Zikuda,
M., dkk., 2011)
menyatakan bahwa dari perspektif psikologi belajar dan ilmu pendidikan,
berbagai pendekatan tertulis tersebut memberi kontribusi penting bagi pergeseran
paradigma dari “mengajar” ke “belajar”.
Sebuah jurnal belajar adalah
tugas menulis, biasanya dilakukan sebagai program tindak lanjut kegiatan kerja.
Dalam jurnal belajar, para siswa diminta untuk menuliskan refleksi mereka
tentang konten pembelajaran yang telah diikuti (Hübner, S., 2009). Dalam
perspektif strong-text view dari Emig (Hübner, S., 2009) menulis dipandang
sebagai suatu cara unik dari berpikir dan belajar. Dengan kata Emig itu,
menulis memberikan kontribusi untuk belajar, "karena menulis sebagai suatu
proses dan produk memiliki sekelompok sifat yang secara unik sesuai dengan
strategi belajar tertentu yang kuat.
Menulis sebuah jurnal belajar
adalah cara menulis yang bebas dan ekspresif, yang secara pribadi memungkinkan
penulis memilih aspek materi belajar yang penting dan memerlukan pengolahan
lebih dalam. lebih khusus lagi karena catatan pribadinya, jurnal belajar merangsang
penulisan elaboratif yang memungkinkan siswa menghubungkan materi belajar
dengan pengetahuan awal atau pengalaman yang telah dimiliki. Koneksi semacam
ini oleh Mayer (Hübner, S., 2009) disebut “external connection” memungkinkan
siswa memperoleh pemahaman mendalam dan menyimpan materi belajar secara lebih
baik.
Oleh sebab itu, sebuah jurnal
belajar bukan hanya dokumentasi strategi belajar kognitif siswa seperti
organisasi dan elaborasi. Sebaliknya, berdasarkan hipotesis
" backward search” dari Klein, (dalam Hübner, S., 2009) ia akan membuka
peluang untuk terlibat secara metakognitif dengan bahan belajar. Sambil menuliskan
pikiran mereka di atas kertas, siswa juga harus memperhatikan aspek mana dari
bahan belajar yang telah ia pahami dengan baik dan mana yang belum. Oleh karena
itu, jenis pemantauan pemahaman membantu untuk mendeteksi ilusi pemahaman (Chi,
Bassok, Lewis, Reimann, & Glaser, 1989, dalam Hübner, S., 2009).
Dalam konteks konseling,
penggunaan “menulis terbimbing” telah lama digunakan sebagai salah satu teknik
biblioterapi bersama-sama dengan kegiatan “membaca” (McLeod, 2010). Beberapa
terapis, seperti Maultsby, dan McKinney
(McLeod, 2010) mendorong klien mereka untuk menulis topik-topik tertentu,
sedangkan terapis lainnya menggunakan “diari” dan “jurnal” berkesinambungan.
Hal tersebut merupakan salah satu bentuk “intervensi konseling berbasis
menulis” disamping bentuk-bentuk lainnya, seperti koresponden, menulis puisi,
dan autobiografi (Greening, dalam McLeod, 2010).
C.
Life
Skills Counselling
Konseling ketrampilan hidup pertama kali
diperkenalkan oleh Richard Nelson-Jones pada tahun 1984. Pendekatan konseling
ketrampilan hidup merupakan pendekatan edukatif yang ditujukan terutama untuk
menangani problem kehidupan orang-orang awam, dan bukan untuk individu-individu
yang mengalami masalah emosional serius atau mengalami gangguan psikiatris
(Jones, 2000). Pendekatan konseling ini dikembangkan berdasarkan model teoretis
cognitive humanistic (Jones,
2005). Di dalam Cognitive Humanistic
Therapy terdapat dua bidang utama, yakni 1) adaptation
cognitive humanistic yang bertujuan
untuk membantu klien-klien yang mengalami sedikit gangguan untuk memperoleh
ketrampilan-ketrampilan berfikir, berkomunikasi dan tingkah laku yang
dibutuhkan untuk dapat berfungsi secara nyaman dalam masyarakatnya; 2) mental cultivation cognitive humanistic, yang
bertujuan membantu klien dan orang lain untuk mencapai
tingkat keberfungsian yang lebih tinggi yang melampaui norma-norma.
(jones, 2005).
Konseling ketrampilan hidup mengadopsi jenis
pertama dari cognitive humanistic
therapy. Meskipun demikian, penerapannya dalam konseling tetap menggunakan
wawasan cognitive behavior dalam
rangka memfokuskan pada perubahan pikiran dan tindakan, dan dalam rangka
membekali klien ketrampilan yang dibutuhkannya agar lebih efektif menjalani
hidupnya sekarang dan di masa mendatang (Jones, 2000). Penggunaan bahasa
ketrampilan oleh Jones dimaksudkan untuk memberi keleluasaan kepada konselor untuk
mengambil posisi teoretis yang berbeda tanpa harus terjebak dalam bahasa yang
terpisah.
1. Teori dan Konsep Dasar
a. Bahasa ketrampilan
Dalam perspektif lifesklills counselling approach perilaku manusia dipandang terkait
dengan ketrampilan hidup yang dipelajari. Di sini ketrampilan hidup dipandang
sebagai rangkaian pilihan yang dibuat orang dalam lingkup ketrampilan spesifik.
Sementara, elemen dasar dari setiap ketrampilan adalah kemampuan
mengimplementasikan rangkaian pilihan untuk mencapai sasaran (Jones, 2005).
Bahasa ketrampilan berarti menggunakan
ketrampilan secara konsisten untuk menggambarkan dan menganalisis prilaku
orang. Dalam konteks pelaksanaan konseling, bahasa ketrampilan berarti berpikir
dan berbicara tentang problem yang dihadapi klien berkaitan dengan kekuatan
atau kekurangan ketrampilan hidupnya (Jones, 2000). Dengan kata lain,
mengidentifikasi dan merumuskan masalah klien sebagai kurangnya ketrampilan
berpikir spesifik dan bertindak, dan kemudian mentransformasikanya menjadi
tujuan konseling.
b. Permainan hidup rohani dan ragawi
Permainan hidup rohani mengacu pada hal-hal
yang terjadi dalam diri seseorang, yakni: bagaimana dia berfikir, merasa, atau
ketrampilan berpikir dan perasaannya. Salah satu asumsi konseling ketrampilan
hidup adalah bahwa individu memiliki potensi untuk menciptakan pikiran yang
trampil atau tidak trampil, atau campuran keduanya (Jones, 2000). Ketrampilan
ini meliputi 12 belas wilayah ketrampilan berfikir, yakni: 1) memahami hubungan
bagaimana seseorang berfikir, merasakan dan bertindak; 2) memiliki
tanggungjawab untuk memilih; 3) berhubngan dengan perasaannya sendiri; 4)
menggunakan metode self-talk untuk
menciptakan perkembangan yang positif; 5) memilih dan menetapkan aturan-aturan
yang realistis; 6) melihat secara akurat; 7) menentukan faktor penyebab secara
akurat; 8) memprediksi secara realistis; 9 & 10) membuat dan menetapkan
tujuan yang realistis; 11) menggunakan ketrampilan visual; 12) mencegah dan
mengelola masalah.
Sedangkan permainan ragawi mengacu pada
hal-hal yang terjadi di luar diri seseorang, mengenai apa yang dilakukan orang
dan bagaimana dia melakukannya. Ketrampilan ini sangat beragam tergantung pada
bidang atau cakupannya, seperti dalam bidang belajar, bekerja, atau menjalin
relasi dengan orang lain.
c. Tujuan konseling
Tujuan konseling ketrampila hidup lebih
diutamakan membantu klien mengubah
ketrampilan problematik yang mendasari masalah-masalahnya yang berkepanjangan
(Jones, 2000). Hal ini berarti tidak hanya fokus pada upaya membantu klien
mengelola masalah-masalahnya saja. Karena menurut Jones (2005) membantu klien
mengatasi masalah saja seringkali membuat klien mengalami kekambuhan di
waktu-waktu lain. Oleh karena itu konseling ini bertujuan untuk mengembangkan
pribadi yang trampil. Adapun ketrampilan hidup esensial yang dibutuhkan
individu-individu dikelompokkan menjadi 5R (Jones, 2000), yakni:
ü Responsive,
mencakup kesadaran eksistensial, kesadaran perasaan, kesadaran motivasi dari
dalam dan kepekaan pada kecemasan dan rasa bersalah.
ü Realisme, yakni
ketrampilan berfikir.
ü Relasi, yakni
ketrampilan menjalin relasi dengan orang lain, misalnya: pertemanan, penegasan,
mengelola kemarahan dan memecahkan problem relasi.
ü Aktivasi rewarding, yang meliputi: ideentifikasi minat, ketrampilan bekerja, ketrampilan
belajar, mengelola waktu luang, dan merawat kesehatan fisik
ü Right-and-wrong,
mencakup: minat sosial, dan kehidupan etis.
d. Tahap konseling : Model DASIE lima tahap
Konseling ketrampilan hidup dijalankan secara
sistematis melalui model ‘DASIE’ lima tahap. Kelima tahap tersebut sebagaimana
dijelaskan Jones (2000) adalah sebagai beriktu:
ü Develop : tahap 1 adalah mengembangkan relasi dan mengklarifikasikan masalah. Konselor
pada tahap ini mengembangkan suasana empati, kehangatan dan ketulusan untuk
menjalin relasi supportif dengan klien, dalam rangka mengidentifikasi dan
memperoleh gambaran problem klien secara lebih utuh.
ü Asses : tahap 2, menilai dan menyatakan kembali
masalah klien dalam istilah ketrampilan. Pada tahap ini konselor
mengidentifikasi dan merumuskan proposisi atau hipotesis tentang bagaimana
klien berpikir dan bertindak yang mendasari masalahnya. Tahap ini diakhiri
dengan kembali merumuskan masalah klien dalam term “defisit ketrampilan”.
ü State : tahap 3, menyatakan tujuan dan
merencanakan tindakan. Pada tahap ini konselor mengupayakan dua hal, yakni:
merumuskan dan menyatakan defisit ketrampilan sebagai tujuan. Disamping itu
konselor bersama klien juga memilih dan menetapkan cara mencapai tujuan.
ü Intervene : tahap 4, intervensi untuk
mengembangkan ketrampilan hidup. Konselor ktrampilan hidup adalah pendidik
perkembangan, karena itu perlu menguasai tidak hanya ketrampilan menjalin
relasi supportif, tetapi juga ketrampilan dan metode pelatihan yang memadai.
Oleh karena itu metode intervensi yang digunakan adalah metode edukasi,
pelatihan psikologis dan juga metode pembelajaran.
ü Emphasize : tahap 5, menekankan tugas rumah
dan akhir konseling. Pada tahap ini konselor membantu klien mentransfer dan
mempertahankan ketrampilan dengan cara-cara mengembangkan kemampuan instruksi
diri (self-instruction), bekerja
dengan situasi real life selama sesi
konseling, dan menggunakan waktu antara sesi-sesi terapi untuk mendengarkan
kaset dan berlatih ketrampilan.
D. Implementasi life skills
counselling berbasis jurnal belajar untuk meningkatkan Self-regulated Learning Siswa.
Self-regulation merupakan suatu ketrampilan
yang dapat ditumbuhkembangkan melalui pelatihan-pelatihan yang direncanakan dan
dilaksanakan secara sistematis. Zimmerman
& Cleary (2004) merancang sebuah program pelatihan untuk meningkatkan
regulasi diri dan motivasi diri siswa dalam belajar. Pelatihan ini dapat
dilasanakan secara terpisah dari program pembelajaran dan bisa pula
dilaksanakan secara terintegrasi dengan program pembelajaran. Sementara Lifeskills counselling merupakan upaya
bantuan yang bertujuan membantu klien mengembangkan pribadi yang trampil
(Jones, 2000), dengan menerapkan metode-metode pelatihan psikologis dan/atau pembelajaran
yang edukatif.
Implementasi lifeskills counseling untuk meningkatkan ktrampilan regulasi diri
siswa dalam belajar, dapat dibagi menjadi dua fase, yakni fase awal sebagai fase pengkondisian (penyiapan) dan fase kedua sebagai fase pelaksanaan. Fase pengkondisian terdiri dari dua
langkah. Pertama, yang harus
dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran siswa bahwa dirinya mengalami masalah,
yakni lack of skills, khususnya
ketrampilan self-regulation dan
kesadaran bahwa masalah-masalah, utamanya, masalah belajar yang dialami
disebabkan karena kurangnya ketrampilan tersebut. Hal ini menjadi langkah strategis awal yang penting, mengingat
kebanyakan siswa tidak menyadari bahwa kekurangan ketrampilan self-regulation adalah masalah dan
sekaligus menjadi sumber banyak masalah yang jika tidak segera ditanggulangi
akan menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan perkembangan sehat pribadinya
dan bagi pengembangan potensi-potensinya. Kesadaran klien tersebut dibangun
oleh konselor dengan cara mengembangkan suasana empati, kehangatan dan
ketulusan untuk menjalin relasi supportif dengan klien, dalam rangka
mengidentifikasi dan memperoleh gambaran problem ketrampilan klien secara lebih
utuh. Langkah kedua adalah
menumbuhkan minat klien untuk belajar dan berlatih self-regulation, atau dengan kata lain menumbuhkan ketertarikan
(interes) klien untuk secara aktif terlibat dalam proses pelatihan
self-regulation yang akan
dilaksanakan. Hal ini sangat penting
dilakukan, karena ketiadaan minat klien akan mengurangi kemanfaatan pelatihan
yang dicanangkan. Langkah ini diawali dengan
melakukan investigasi atas proposisi atau hipotesis tentang bagaimana klien
berpikir dan bertindak yang mendasari masalahnya kemudian diakhiri dengan
merumuskan kembali masalah klien dalam term “defisit ketrampilan”. Dengan
mengetahui latar belakang masalah dan defisit ketrampilan spesifik yang
dialami, klien akan termotivasi untuk terlibat secara aktif dalam proses-proses
selanjutnya.
Fase pelaksanaan
meliputi tiga langkah yang bersifat siklis. Pertama,
klien berlatih menetapkan dan merumuskan tujuan dalam bentuk
hasil-hasil belajar atau penampilan khusus yang ingin dicapai serta
merencanakan strategi-strategi pencapai yang akan digunakan. Bersamaan dengan
itu, konselor membantu menumbuhkan efikasi diri klien, membantu mengembangkan
orientasi tujuan serta harapan-harapan akan keberhasilan klien. Langkah pertama
pada fase pelaksanaan ini pada hakikatnya merupakan implementasi tahap “State”
pada lifeskills counseling untuk
mengefektifkan pelaksanaan fase “Forethought”
pada siklus self-regulated learning,
karena telah diawali dengan penyadaran akan masalah “lack of skills” klien. Kedua,
dengan metode-metode pelatihan
psikologis, konselor menjalankan intervensi untuk melatih klien membuat instruksi diri, membuat gambaran mental (imagery), memusatkan perhatian pada
tujuan yang telah ditetapkan, dan menjalankan strategi-strategi tugas secara
konsisten. Di samping itu, klien juga dilatih cara mengisi lembar observasi diri
untuk merekam bukti-bukti kemajuan diri yang telah dicapai. Lifeskills counseling
identik dengan pelatihan ketrampilan, karena
menurut Jones (2000) konselor adalah pendidik perkembangan atau dalam bahasa
kolokasi adalah pelatih yang ramah pengguna (user-friendly coach). Oleh karena itu penggunaan metode pelatihan
psikologis merupakan sebuah keniscayaan dalam proses konseling. Langkah ketiga terdiri dari dua sesi, yakni: 1)
sesi transfer. Pada sesi ini klien berlatih menerapkan dan mempertahankan
ktrampilan regulasi diri pada situasi real
life selama konseling; 2) sesi reaksi diri. Setelah klien mempraktikkan
ketrampilan regulasi diri pada situasi real
life, klien dilatih mengembangkan pola-pola self-reflection yang positif. Klien diminta membandingkan hasil
yang telah dicapai dengan standar tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya,
dilatih mengidentifikasi faktor-faktor penyebeb keberhasilan atau kegagalan
dirinya mencapai tujuan, dilatih melakukan peneguhan diri dengan self-talk, serta melakukan adaptasi atas
strategi-strategi pencapaian tujuan.
Paparan di atas merupakan pemaduan antara model
konseling “DASIE” lima tahap dengan siklus self-regulated
learning dalam rangka mengembangkan ketrampilan self-regulated learning siswa
berbasis life skills counseling.
Adapun kerangka konseptual atau model dari konsep di atas dapat
divisualisasikan sebagaimana gambar berikut ini.
III.
METODE PENELITIAN
A.
Rancangan
Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian quasi-experiment, yakni penelitian eksperimen yang dilaksanakan
dalam setting alamiah, tetapi variabel-variabel yang diteliti masih diisolasi,
dikendalikan dan dimanipulasi (Cohen, dkk., 2011: 315). Dalam penelitian quasi-experiment penempatan atau pengambilan subjek penelitiannya tidak bisa
dilakukan secara acak (Campbell & Stanley, 1966: 34). Subjek penelitian
dalam quasi-experiment diambil dari
latar alami seperti apa adanya, sehingga dalam kondisi seperti itu banyak
faktor (variabel) lain yang dikhawatirkan mempengaruhi perubahan-perubahan pada
variabel tergantung yang pada gilirannya akan mengurangi validitas hasil
penelitian itu sendiri. Meskipun demikian, validitas penelitian dalam quasi-experiment, masih bisa diupayakan
dengan menerapkan teknik-teknik tertentu untuk mengendalikan atau paling tidak
untuk mengurangi berbagai gangguan yang dapat mengancam validitas internal
penelitian dengan desain ini (Fraenkel & Wallen, 2006:277).
Adapun rancangan eksperiment yang akan
digunakan adalah The one-group time series design. Desain ini
dilaksanakan dengan cara memberikan beberapa kali pre-test terhadap kelompok eksperimen, kemudian diikuti dengan
memberikan perlakuan atau treatmen tertentu. Selanjutnya dilakukan beberapa
kali post-test. Pemberian pre-test dan post-test yang berulang-ulang membuat desain ini memiliki tingkat
reliabiltas yang lebih tinggi dibandingkan dengan desain-desain quasi-experiment lainnya (Cohen, dkk., 2011:323).
Adapun
rancangan penelitian tersebut dapat divisualisasikan sebagai berikut:
Experiment O1 O2 O3 O4 X O5 O6 O7 O8
Gambar 1: bentuk time series design
Keterangan:
O1 – O4 : Observasi sebelum perlakuan
X :
Perlakuan / treatment
O5 – O8 : Observasi setelah perlakuan
B. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini terdiri dari 20 orang siswa
SMP yang dipilih secara purpossive. Adapun kriteria pemilihan subjek
didasarkan pada 2 (dua) kriteria pokok, yakni: tingkat ketrampilan SRL dan
prestasi belajar. Ke-20 subjek penelitian ini memiliki kemampuan SRL dan
prestasi belajar yang rendah. Hal ini dilakukan karena penelitian ini ditujukan
untuk menguji efektivitas lifeskills counselling berbasis jurnal belajar
untuk meningkatkan ketrampilan SRL siswa.
C. Instrumen Penelitian
Penelitian ini menerapkan dua bentuk instrumen
penelitian, yakni:
1. Skala Pengaturan Diri dalam Belajar (SPDB). Skala
ini akan dikembangkan peneliti berdasarkan konstruk komponen dan siklus SRL
yang dikembangkan Zimmerman (Zimmerman,
B.J. & Moylan, Adam R., 2009).
2. Prestasi belajar. Data prestasi belajar subjek
penelitian diperoleh dari hasil ujian akhir semester (UAS) dan ujian kenaikan
kelas (UKK) dari mata pelajaran yang .
D. Prosedur treatment
Rancangan treatment yang akan diterapkan dalam
rencana penelitian ini akan mengikuti model siklus self-regulated Learning
dari Zimmerman. Klien akan diperkenalkan dan dilatih strategi SRL yang berbeda
setiap minggu dan kemudian diulang, disamping itu klien juga dilatih merekam
rencana strategi SRL yang akan diterapkan ke dalam sebuah jurnal belajar.
Minggu ke I dan ke II akan difokuskan pada fase
pengkondisian, yakni melaksanakan tahap pertama dan kedua dari tahap lifeskills
counselling, yaitu tahap develope dan asses dalam rangka
mengeksplor dan merumuskan problem klien dalam term defisit ketrampilan
dan membangun kesadaran klien akan masalahnya dan pentingnya memiliki
ketrampilan self-regulated learning.
Minggu ke III: setelah semua partisipan melewati
fase pengkondisian, intervensi akan dilakukan. Pada minggu ini partisipan akan
menetapkan kekurang trampilannya dalam SRL menjadi tujuan konseling.
Minggu ke IV: partisipan akan diperkenalkan dan
dilatih mengenai analisis tugas (Task Analysis), yang meliputi goal
setting terkait aktivitas-aktivitas belajarnya; kemudian dilanjutkan dengan strategic planning. Kemudian
klien diminta menuliskan tujuan dan rencana strategis yang disusunnnya ke dalam
jurnal belajar yang disediakan konselor.
Minggu ke V: klien diperkenalkan dan dilatih
aktivitas (strategi-strategi) kognitif, yang mencakup: strategi rehersal,
elaborasi dan organisasi materi pelajaran. Klien juga dimita menuliskan
strategi yang akan digunakan dan menuliskan hasilnya ke dalam jurnal belajar.
Minggu ke VI: klien diperkenalkan dan dilatih
strategi-strategi pengelolaan sumber daya, yang meliputi: mengatur lingkungan
belajar, mengelola waktu belajar dan mencari bantuan.
Minggu ke VI: klien diperkenalkan dan dilatih
mengisi lembar monitoring diri dan lembar evaluasi diri.
Siklus pada minggu ke III hingga ke VI akan diulangi
sesuai dengan siklus yang disarankan oleh Zimmerman.
E. Pengukuran /
observasi
Selaras dengan desain penelitian ini yang
menggunakan time series, maka pelaksanaan pengukuran atau observasi
dilakukan beberapa kali baik sebelum maupunsesudah perlakuan. Di dalam
penelitian direncanakan melakukan pengukuran sebanyak 2 kali sebelum perlakuan
dan 2 kali sesudah perlakuan.
DAFTAR
RUJUKAN
Adeiza,
M., 2010. Communities and Character in an
Age of Globalization: The Family Option. http://www.firstprinciplesjournal.com/articles.aspx?
article=1400&loc=r . Diakses pada tanggal 14 Nopember 2011.
Al Khatib, Saleh Ahmed. (2010).
Meta-cognitive self-regulated learning and motivational beliefs as
predictors of college students’ performance. International
Journal for Research in Education (IJRE), NO. 27, 57-72.
Arsal, Zeki.
(2010) The effects of diaries on self-regulation strategies of preservice
science teachers. International
Journal of Environmental & Science Education Vol. 5, No. 1, 85-103.
Bauer, Isabelle M.
& Baumeister, Roy F., 2011. Self-Regulatory
Strength
dalam Vohs, K.D. & Baumeister, Roy F (Ed.), Handbook
of Self-Regulation. New York: The
Guilford Press.
Bembenutty, Héfer.
(2010). Homework Completion: The Role of Self-efficacy, Delay of Gratification,
and Self-Regulatory Processes. The International Journal of Educational and
Psychological Assessment, Vol. 6(1).
Campbell, DT.
& Stanley, JC., 1966. Experimental
And Quasi-Experiment Designs For Research. Boston: Houghton Mifflin
Company.
Chen,
Caattheriine S. 2002. Self-regulated Learning Strategies and Achievement in an
Introduction to Information Systems Course. Information
Technology, Learning, and Performance Journal, Vol. 20, No. 1, 11-25.
Cheng, Eric C. K. (2011). The Role of Self-regulated
Learning in Enhancing Learning Performance. The International Journal of
Research and Review, Volume 6 Issue 1, 1-16.
Cohen, L.,
Manion, L. & Morisson, K., 2011. Research Methods In Education, 7th ed.
London: Routledge.
Çubukçu,
Feryal. 2008. A Study On The Correlation Between Self Efficacy And Foreign
Language Learning Anxiety. Journal of
Theory and Practice in Education. 4 (1):148-158.
Driscoll, Mary
P., 2005. Psychology of Learning for Instruction, 3rd ed. Boston: Pearson
Education, Inc.
Fraenkel, JR.
& Wallen, NE., 2006. How To Design And Evaluate Research In Education, 6th
ed. New York: McGraw Hill.
Gläser-Zikuda,
M., Fendler, J., Noack, J. & Ziegelbauer, S. (2011). Fostering Self-Regulated Learning With Portfolios
In Schools And Higher Education. ORBIS
SCHOLAE, Vol. 5, No. 2, pp. 67–78.
Handarini, D.M., 2011. Membedah Perilaku Manusia Indonesia Modern di
Era Globalisasi: Suatu Pendekatan Holistik Multidisipliner untuk Menjawab
Tantangan Jaman. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Membedah Perilaku
Indonesia Modern di Era Globalisasi, Fakultas Psikologi Universitas Pelita
Harapan, Surabaya, 13 Nopember.
Hübner,
Sandra, 2009. Learning Journals As Medium Of Self-Regulated Learning: How to
Design Instructional Support to Overcome Strategy Deficits?, Disertasi,
Departemen Psikologi, Universitas Albert Ludwigs: Freiburg, (Online), (http://www.freidok.uni-freiburg.de/volltexte/7179/
pdf/Diss_RP_huebner_finale_UB.pdf), diakses tgl. 01 Mei 2012.
Jones, Richard
N., 2000. Lifeskills Counselling.
dalam Introduction to Counselling and
Psychotherapy: the Essential Guide, Stephen Palmer (Ed.). London: Sage
Publication.
Jones, Richard
N., 2005. Practical Counselling and
Helping skills: text and activities for the lifeskills counselling model,
5th. ed. London: Sage Publication.
Law, Yin-kum; Chan, Carol K.
K. & Sachs, John. (2008). Beliefs about learning, self-regulated strategies
and text comprehension among Chinese children. British Journal of Educational
Psychology, 78, 51–73.
Lucy Barnard-Brak; William Y.
Lan and Valerie Osland Paton. (2010). Profiles in Self-Regulated Learning in the
Online Learning Environment. International Review of Research in Open and
Distance Learning, Volume 11, Number 1, 61-79.
Kadhiravan, S & Suresh, V, 2008. Self-Regulated
Behaviour at Work. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology.
Vol. 34, Special Issue, 126-131.
Kosnin, Azlina Mohd. (2007). Self-regulated learning and academic achievement in Malaysian
undergraduates. International Education Journal, 8(1), 221-228.
Krebs, Saskia
S. dan Roebers, Claudia M. (2010). Children's strategic
regulation, metacognitive monitoring, and control processes during test taking.
British Journal of Educational Psychology, 80.
325-340.
Masui1,
Chris
& De Corte, Erik. (2005). Learning to reflect
and to attribute constructively as basic components of self-regulated learning. British
Journal of Educational Psychology, 75, 351–372.
McLeod, John.,
2010. Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. Alih Bahasa: A. K.
Anwar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Mih, Codruţa & Mih, Viorel. (2010). Components Of Self-Regulated Learning; Implications
For School Performance. Acta Didactica
Napocensia, Volume 3, Number 1.
Nu¨ckles, M.; Hu¨bner, S. &
Renkl, A. (2009). Enhancing self-regulated learning by writing
learning protocols. Learning and Instruction
19, 259-271.
Núñez, J. C.; Cerezo, R.;
González-Pienda, J. A.; Rosário, P.; Valle, A.; Fernández, E.& Suárez, N. (2011). Implementation of training programs in
self-regulated learning strategies in Moodle format: Results of a experience in
higher education. Psicothema, Vol. 23, nº
2, pp. 274-281.
Shih, Hui-Ru; Zheng, Wei; Leggette, Evelyn J. & Skelton, G., 2011.
Enhancing Student Performance By Promoting Self-Regulated Learning. Proceedings of the ASME 2011 International Mechanical Engineering
Congress & Exposition, November 11-17, Denver, Colorado, USA.
Schunk, DH., 2012. Learning Theories: An Educational Perspective. Boston: Allyn &
Bacon. Dari Gigapedia, (Online), (http://www.gigapedia.com),
diakses 18 September 2011.
Tavakolizadeh, J. & Qavam,
S.E., 2011. Effect of teaching of self-regulated learning strategies on
attribution styles in students. Electronic Journal of Research in
Educational Psychology, 9(3), 1087-1102.
Wolters, Christopher
A., 2010. Self-Regulated Learning and the 21st Century Competencies.
Department of Educational Psychology
University of Houston, (Online), (http://www.hewlett.org/library/grantee-publication),
diakses 29 April 2012.
Zimmerman,
Barry J. 1990. Self-Regulated Learning and Academic Achieve-ment: An Overview. Educational
Psychologist, 25(1), 3-17.
Zimmerman,
Barry J. 2000. Attaining Self-Regulation: A Social Cognitive Perspective,
dalam Handbook of Self-Regulation. Editor: Boekaerts, M., Pintrich. Paul R. & Zeidner, M. USA: Academic Press.
Zimmerman,
Barry J & Cleary, Thimothy J., 2004. Self-Regulation Empowerment Program: A
School-Based Program To Enhance Self-Regulated And Self-Motivated Cycles Of
Student Learning. Psychology in the
Schools, Vol. 41(5), 537-550.
Zimmerman,
Barry J. & Moylan, Adam R. 2009. Self-Regulation: Where Metacognition and
Motivation Intersect, dalam Douglas
J. Hacker, John Dunlosky & Arthur C. Graesser (Eds.) Handbook of Metacognition in Education (hal. 299-315). New York: Routledge.
[3]
http://repository.upi.edu/operator/upload/s_a5051_0608865_chapter2.pdf
[4]
http://www-wds.worldbank.orgexternaldefaultWDSContentServerWDSPIB201104120003
33037_ 20110412010953RenderedPDF609610BRI0BAHA10Box358333B01PUBLIC1.pdf.
terima kasih sangat membantu
BalasHapus