MENGEMBANGKAN
REGULASI DIRI SISWA:
(Ikhtiar Menuju Terbentuknya Kesadaran Moral dan
Prilaku Adaptif Siswa)
Oleh: Moh. Mahfudz Faqih
Abstract
One
of the manifestation of the negative influences of globalization is the
increasing maladaptive behavior among teenagers. Maladaptive behavior is a
manifestation of the less skilfully teenagers in aspects of intrapersonal and /
or interpersonal. One of the important is the self-regulation, that it is a systematic
efforts to direct thoughts, feelings and actions towards the achievement of
objectives. Moral awareness is a
person's determination that a situation contains moral content and legitimately
can be considered from a moral point of view. While the adaptive behavior is a
person's ability to harmonize and modify their behavior to fit the demands of
the situation. Based on the theory of social cognition, it is assumed that
self-regulation can increase the intensity of moral awareness and minimize
maladaptive behaviors of students. Self-regulation of the student can be developed
at the school through integration into the learning process, and in the family
through habituation to worship regularly.
Key words: Self-regulation, Moral awareness,
Maladaptive behaviors.
Globalisasi merupakan
sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan. Setiap bangsa dan negara pasti akan
menghadapi gelombang globalisasi, kini atau di waktu-waktu mendatang, karena
globalisasi merupakan salah satu tahap perkembangan kebudayaan manusia. Globalisasi
mencakup transfer budaya dan teknologi, dan pengembangan regulasi internasional.
Dalam kondisi seperti ini batas-batas antar negara menjadi susut atau bahkan
“hilang”. Adeiza (2010) menyebutnya
sebagai “desa global” di mana kehidupan kita sehari-hari
secara signifikan dipengaruhi oleh produk, layanan, dan gambar yang berasal
dari negara dan budaya lain. Dengan kata lain, era globalisasi memaksa setiap
komunitas menjadi masyarakat terbuka yang memiliki peluang untuk mempengaruhi
ataupun dipengaruhi komunitas masyarakat lainnya dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam struktur
masyarakat terbuka seperti itu, yang lebih besar kecen-derungannya terpapar
pengaruh negatif globalisisasi adalah masyarakat berkem-bang. Sedangkan yang
paling rentan terpapar pengaruh negatif globalisasi adalah remaja. Hal ini disebabkan
karena remaja berada dalam masa transisi dan pencarian identitas diri menuju
kondisi menjadi (on becoming). Dalam
proses ini remaja cenderung meniru
berbagai perilaku dan/atau sikap-sikap di luar dirinya. Ini akan
mengakibatkan proses be coming mereka
terganggu, bilamana remaja tidak memi-liki karakter intrapersonal dan
interpersonal yg kuat, dan dibutuhkan untuk bisa survive dalam arus globalisasi tersebut. Beberapa karakter
intrapersonal yg dibutuh-kan agar individu bisa survive dalam arus globalisasi antara lain: ketangguhan, empati,
kemampuan adaptasi, kreativitas, ketrampilan mengelola stres, disiplin diri,
tanggungjawab dan etika kerja. Sedangkan karakter interpersonal yg
dipersyaratkan antara lain: ketrampilan komunikasi, kesadaran multikutural,
kemampuan multi-lingual, ketrampilan menejemen/regulasi diri dan kerjasama
(Handarini, 2011).
Salah satu wujud
pengaruh negatif globalisasi adalah meningkatnya perilaku “maladaptive” di kalangan remaja. Prilaku maladaptive pada dasarnya merupakan manifestasi dari kurang
trampilnya (Lack of Skills) remaja
dalam aspek intraper-sonal dan/atau interpersonal.
Di lingkungan sekolah,
hampir setiap hari ditemukan bentuk-bentuk kena-kalan peserta didik mulai dari
yang ringan hingga yang tergolong berat. Pertengkaran dan perkelahian antar pelajar;
penipuan dan pencurian; konsumsi miras dan obat-obat psikotropika; pelecehan
seksual; bahkan pesta seks adalah tontonan yang sering kita lihat di hampir
setiap sekolah. Bahkan saat ini, bentuk-bentuk kenakalan peserta didik tersebut
tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah perkotaan, tetapi sudah merambah ke
sekolah-sekolah di pelosok desa. Sementara di luar sekolah fenomena di atas
lebih menggejala dalam bentuk yang sangat variatif. Hampir setiap waktu, media
cetak dan elektronik menginformasikan bentuk-bentuk kejahatan dan kriminalitas
yang melibatkan peserta didik sebagai pelaku. Perkelahian dan tawuran pelajar
antar sekolah; penodongan dan peram-pokan; pengedaran obat-obat terlarang;
aborsi; pemerkosaan hingga pembunuhan oleh ‘peserta didik’ adalah cerita
sehari-hari yang kita dengar. Fenomena iini membuktikan bahwa pelajar kita
belum memiliki persiapan yang memadai dalam bentuk keahlian dan
ketrampilan-ketrampilan psikologis (liveskills)
yang dibutuh-kan untuk berada dalam putaran arus globalisasi, dan sebagai akibatnya
mereka cenderung terseret arus dan tercerabut dari akar budayanya.
Tulisan ini mencoba
mengurai suatu relasi konseptual tentang usaha menumbuhkan kesadaran moral dan
prilaku adaptive di kalangan remaja
melalui penguasaan ketrampilan self-regulation.
SELF-REGULATION
Self-regulation merupakan salah satu tema sentral dalam teori kognisi
sosial. Menurut Bandura,1986 (dalam Zimmerman, 2000) Self-regulation merupakan interaksi proses-proses triadic dari faktor personal, prilaku,
dan lingkungan. Dalam perspektif teori ini, Self-regulation menunjuk pada
aktivasi pikiran-pikiran, perasa-an-perasaan dan tindakan-tindakan yang
direncanakan dan secara siklikal diadap-tasikan untuk mencapai tujuan-tujuan
pribadi (Zimmerman, 2000). Pintrich, 2000 (dalam Kadhiravan, S & Suresh, V,
2008) merumuskan self-regulation
sebagai proses-proses membangun yang aktif dimana seseorang menetapkan
tujuan-tujuan bagi belajar/pekerjaan/hidupnya dan kemudian berupaya memantau,
mengatur, dan mengendalikan pikiran, motivasi
dan prilaku mereka yang dipandu dan dibatasi oleh tujuan-tujuan mereka dan
segi-segi kon-tekstual dari lingkungan. Dengan demikian self-regulation berkaitan erat dengan penetapan tujuan dan
orientasi-orientasi tujuan individu,
yang menggerakkannya secara sadar dan aktif untuk menyusun rencana dan strategi
pencapaian; diikuti dengan upaya koordinasi dan pendayagunaan segenap potensi
pikiran, emosi dan prilaku menuju tujuan yang ditetapkan.
Bauer & Baumeister (2011)
mendefinisikan regulasi diri dari sisi yang berbeda, yaitu kemampuan
mengesampingkan atau menolak kecenderungan alami dan otomatis, keinginan, atau
perilaku, untuk mengejar tujuan jangka panjang, bahkan dengan mengorbankan
kegiatan-kegiatan jangka pendek, dan untuk mengi-kuti norma dan aturan-aturan
sosial yang ditentukan. Dengan kata
lain, pengaturan diri adalah kemampuan untuk mengubah respon-respon diri untuk
mencapai keadaan atau hasil yang diinginkan. Apabila hal tersebut tidak dilakukan,
maka hasil yang diharapkan tidak akan muncul secara alami. Dengan demikian,
tujuan dari regulasi-diri adalah memotong kecenderungan-kecenderungan diri
mengikuti pemandu yang bekerja otomatis, untuk kemudian mengarahkan perilaku
sadar dalam arah yang diinginkan.
Dalam perspektif teori ‘kognisi sosial’ regulasi diri memiliki
dan berjalan di atas tiga komponen (Zimmerman, 2000). Pertama, Forethought.
Komponen
ini mengacu pada proses-proses yang berpengaruh yang mendahului tindakan, dan
proses menetapkan tahapan pencapaiannya. Komponen pemikiran ini meliputi dua
sub komponen yang berbeda, yakni: 1) task
analysis; dan 2) self-motivational
beliefs. Wujud dari task analysis
berupa kegiatan penetapan tujuan. Ini berarti individu membuat keputusan
tentang hasil-hasil belajar atau penampilan khusus yang ingin dicapai. Bentuk
analisis tugas yang kedua adalah menyusun dan menetapkan rencana strategi
pencapaian (strategic planning).
Penetapan strategi pencapaian yang akurat akan meningkatkan kinerja atau
performen individu melalui mekanisme bantuan pada kognisi, mengendalikan
pengaruh, dan meng-arahkan pelaksanaan tindakan (Pressley & Wolloshyn,
dalam Zimmerman, 2000). Sedangkan self-motivational
beliefs mengacu pada sejumlah atribut internal yang bahkan mendasari proses
penetapan tujuan dan penyusunan rencana strategi pencapaian, yang meliputi: self-efficacy, ekspektasi hasil, minat atau nilai intrinsik,
dan orientasi tujuan.
Self-efficacy
mengacu pada penilaian orang mengenai kemampuannya mengorganisir dan
melaksanakan serangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai jenis hasil
atau kinerja yang telah ditetapkan (Bandura, dalam Çubukçu,
2008). Sedangkan ekspektasi hasil mengacu pada keyakinan tentang hasil akhir
dari suatu kinerja (Zimmerman, 2000). Minat intrinsik merupakan kondisi dimana
individu termotivasi secara internal sebagai pengaruh dari tujuan-tujuan yang
ditetapkannya, sebagaimana dikatakan Bandura, 1977 (dalam Driscoll, 2005) bahwa
tujuan-tujuan yang ditetapkan secara aktif dapat menjadi sumber penting bagi
motivasi. Orientasi tujuan individu meliputi dua tipe orientasi, yakni: performance goal dan learning goal (Driscoll, 2005). Performance goal adalah tujuan-tujuan
yang diorientasikan pada hasil kinerja, misalnya “saya ingin mendapatkan nilai
A pada mata pelajaran biologi”. Sedangkan learning
goal adalah tujuan yang diorientasikan pada proses, misalnya pernyataan
“saya ingin mengerti proses perkembangan makhluq hidup”.
Kedua,
Performance Or Volitional Control. Komponen
ini melibatkan proses yang terjadi selama
upaya-upaya motorik serta proses mempengaruhi perhatian dan tindakan. Komponen ini
juga memiliki dua sub komponen, yakni: 1) Self-control.
Hal ini mencakup beberapa kemampuan internal, seperti instruksi diri, membuat
gambaran mental (imagery), memusatkan
perhatian, dan strategi-strategi tugas. Proses-proses self-control tersebut akan membantu pebelajar atau pelaku untuk
fokus pada tugas dan mengoptimalkan usaha-usaha mereka (Zimmerman, 2000); 2) Self-observation. Hal ini mengacu pada pelacakan seseorang mengenai aspek-aspek
spesifik dari kinerja mereka sendiri, kondisi yang mengelilinginya, dan efek-efek
yang dihasilkannya (Zimmerman & Paulsen, dalam Zimmerman, 2000). Penetapan tujuan
yang dilakukan pada fase forethought
mempermudah self- observation, karena
tujuannya terfokus pada proses yang spesifik dan terhadap kejadian di
sekelilingnya.
Tedapat dua kemampuan internal yang terlibat dalam self-observation ini, yaitu: self-recording
dan self-experimentation. Catatan
diri dapat menangkap informasi pribadi pada titik dimana hal itu terjadi, menyusunnya
menjadi lebih bermakna, memelihara keakuratan tanpa perlu mengganggu latihan,
dan menyediakan data base panjang untuk membedakan bukti kemajuan
Ketiga, Self
reflection. Komponen
ini melibatkan proses yang terjadi setelah upaya tindakan atau performen
dan proses mempengaruhi respon seseorang terhadap pengalaman. Refleksi diri
ini, pada gilirannya, mempengaruhi pemikiran tentang upaya-upaya motorik. Komponen
ini meliputi dua sub komponen (Zimmerman, 2000), yaitu: 1) Self-evaluation, yang meliputi self
judgement terhadap performen yang ditampilkannya dalam upaya mencapai tujuan
dan menje-laskan penyebab yang signifikan terhadap hasil yang dicapainya. Self evaluation mengarah pada upaya
untuk membandingkan informasi yang diperolehnya melalui self-monitoring dengan standar atau tujuan yang telah ditetapkan
pada fase forethought; 2) Self-reaction.
Proses yang kedua yang terjadi pada fase ini adalah reaksi diri yang terus menerus
akan memperngaruhi fase forethought
dan seringkali berdampak pada performen yang ditampilkannya di masa mendatang
terhadap tujuan yang ditetapkannya.
Ketiga komponen self-regulation
di atas dan siklus kerjanya dapat divisualisasikan sebagai berikut:
|
|||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||
Gambar 1: Komponen
dan Siklus Terjadinya self-regulation
Sumber: Zimmerman, 2000
MORAL AWARENESS
Sepanjang sejarah
peradaban manusia, moralitas senantiasa dianggap penting bagi keberlangsungan
kesejahteraan dan peradaban. Sebagian besar orang tua atau bahkan semua orang
tua ingin membesarkan anak-anak mereka agar menjadi baik, yakni menjadi
individu yang memiliki sifat-sifat yang diharapkan dan patut dipuji,
berkepribadian dengan dasar etika yang kuat. Oleh karena itu tidaklah
berlebihan bilamana sebagian filosouf dan ilmuwan (Dewey, 1909; Bryk, 1988;
Goodlad, 1992; Goodman & Lesnick, 2001; McClellan, 1999) berpendapat bahwa
pembentukan moral anak adalah salah satu tujuan fundamental pendidikan formal (Lapsley, DK. , 2008). Moralitas dan
pendidikan moral memiliki dua sisi, yakni sisi luar dan sisi dalam. Sisi luar
moralitas menyediakan cara berhubungan dengan orang lain, sedangkan sisi dalam adalah
mengenai cara bagaimana bergaul dengan diri sendiri (Wren, T., 2008)..
Moral
awareness, didefinisikan sebagai “penetapan seseroang bahwa
suatu situasi mengandung muatan moral, dan bahwa ia mampu membuat
pertimbangan-pertimbangan legal dari sudut pandang moral (Reynolds, dalam
Bryant, 2009). Lebih jauh Reynolds berpendapat bahwa kesadaran moral
distimulasi oleh perha-tian seseorang terhadap dua karakteristik situasi,
yakni: kehadiran bahaya, dan pelanggaran norma-norma perilaku. Artinya, jika suatu
situasi dirasakan membawa kerugian atau menyebabkan pelanggaran norma-norma
perilaku, maka seseorang akan mengakui bahwa suatu situasi bermuatan moral dan ia akan mempertimbang-kan hal itu
dari sudut pandang moral.
Perhatian seseorang
terhadap kedua karakteristik situasi tersebut berbeda-beda dalam setiap
situasi, bergantung pada beberapa faktor. Salah satu faktor yang memberi
kontribusi terhadap kesadaran moral adalah karakteristik seseorang. Karena itu,
karakter individu akan turut menentukan apakah individu yang bersangkutan akan
cenderung memberi perhatian atau tidak terhadap segi-segi moral dari situasi,
yang pada gilirannya akan merangsang kesadaran moralnya. Sedangkan menurut
Bandura (Bryant, 2009) faktor-faktor sosial dan kognitif bersama-sama memengaruhi
individu dalam menciptakan identitas moral serta mengadopsi norma-norma
perilaku.
ADAPTIVE
BEHAVIOR
Perilaku adaptif
mengacu pada cara-cara yang digunakan individu dalam memenuhi kebutuhan pribadi
mereka maupun dalam menghadapi tuntutan alam dan sosial di lingkungannya (Nihira,
dkk., dalam Oakland, T. & Harrison, P.L., 2008). American
Association on Mental Retardation (AAMR) mendefinisikannya sebagai
keefektifan individu untuk beradaptasi terhadap tuntutan alam dan sosial dalam
lingkungannya yang tercermin dalam kematangan, belajar dan penyesuaian
sosialnya (Nihira, dkk., dalam dalam Oakland,
T. & Harrison, P.L., 2008). Dari dafinisi di atas dapat disimpulkan bahwa
adaptive behavior merupakan kemampuan
seseorang untuk menyelaraskan dan mengubah prilakunya agar sesuai dengan
tuntutan situasi.
AAMR, lebih jauh
menjelaskan bahwa adaptive behavior
memiliki dua tingkat. Pertama: sejauh
mana individu dapat berfungsi dan mempertahankan dirinya sendiri; kedua, sejauh mana individu dapat memenuhi
secara memuaskan
tuntutan tanggung jawab pribadi dan sosialnya yang diterapkan secara kultural.
tuntutan tanggung jawab pribadi dan sosialnya yang diterapkan secara kultural.
Selanjutnya AAMR (Nihira,
dkk., dalam dalam Oakland, T. & Harrison, P.L., 2008) mengidentifikasi tiga bidang dari
prilaku adaptif, yaitu:
1.
Konseptual, yang
meliputi: komunikasi, berfungsinya aspek-aspek akademik, pengarahan diri,
kesehatan dan ketrampilan-ketrampilan keselamatan;
2.
Praktis, yang
terdiri dari ketrampilan-ketrampilan sosial dan mengisi waktu luang;
3.
Sosial, yang
mencakup: perawatan diri, ketrampilan hidup di rumah / sekolah, menggunakan
sumber daya dalam masyarakat, kesehatan dan keselamatan, serta ketrampilan-ketrampilan
untuk bekerja;
PENGARUH
SELF-REGULATION TERHADAP MORAL AWARENESS DAN PENINGKATAN PRILAKU
ADAPTIF
Pembahasan mengenai
pengaruh self-regulation terhadap moral awareness dan perilaku adaptive berarti menganalisis bagaimana self-regulation dapat meningkatgkan moral awareness dan bagaimana kedua
variabel tersebut dapat merubah perilaku maladaptive
menjadi adaptive. Karena itu pembahasan
mengenai hal tersebut, mau tidak mau harus melibatkan teori tentang pengubahan
prilaku (Behavior Changes).
Penelitian-penelitian tentang pengubahan prilaku melibatkan empat area
penelitian yang telah menguji hubungan antara keadaan-keadaan psiko-logis
dengan kemampuan seseorang untuk mengatur prilakunya, yakni: (1) self-efficacy, (2) regulatory focus, (3) self-regulatory
strength, and (4) intrinsic–extrin-sic
motivation (Rothman, dkk., 2011).
Salah
satu konstruk teori self-regulation
dari Bandura adalah self-efficacy
(Brynt, 2009), yaitu keyakinan individu bahwa dirinya mampu menangani
bidang-bidang tugas tertentu. Beberapa peneliti menemukan bukti bahwa self-efficacy dalam domain tugas terentu
berkorelasi secara kuat dengan perasaan identitas moral dan keberhasilan menolak
tekanan-tekanan sosial untuk mengkompromikan nilai-nilai moral dan norma-norma
perilaku. Sebaliknya efikasi diri yang rendah mening-katkan kepekaan individu
atas tekanan sosial untuk pelepasan moral dan etika (Bandura, dalam Brynt,
2009). Selain itu, orang-orang dengan self-efficacy yang kuat lebih mungkin untuk menjadi agen moral yang
proaktif, yang berarti bahwa mereka bertindak untuk mempromosikan nilai-nilai
moral dan norma-norma perilaku. Sedangkan, mereka dengan self-efficacy yang rendah lebih peduli dengan menghambat perilaku
tidak etis dan mencegah pelanggaran norma-norma perilaku (Bandura,
dalam Brynt, 2009).
Pengubahan perilaku tidak hanya menyangkut upaya
mengadopsi perilaku baru, tetapi juga melibatkan mengekang pola-pola perilaku
sebelumnya. Hal ini menyangkut kemampuan seseorang menahan diri untuk tidak
mengulangi prilaku-prilaku yang sebelumnya telah dirubah. Karena itu menurut
Baumeister, dkk. (dalam Rothman, dkk., 2011) untuk bisa menolak, menghambat atau
mengubah kecen-derungan respon yang dominan, seseorang harus memiliki tingkat kekuatan peng-aturan diri (self-regulatory strength) yang cukup. Self-regulatory strength adalah sumber
kognitif yang terbatas yang dialirkan hanya pada saat seseorang berupaya
mengatur emosi, pikiran dan prilaku-prilaku mereka (Rothman, dkk., 2011). Seba-liknya
kekurangan self-regulatory strength
dianggap sebagai penentu utama kega-galan regulasi diri, juga diperkirakan lebih
mungkin mengalami kekambuhan, ketika orang tersebut dihadapkan pada tuntutan yang
berulang-ulang untuk menge-lola pikiran, perasaan, atau perilaku mereka. Kesimpulan Rothman ini didasarkan pada beberapa hasil investigasi
empiris yang dilakukan banyak peneliti di berbagai domain perilaku (seperti
Baumeister, Bratslavsky, Muraven, & Tice, 1998; Muraven, Tice, &
Baumeister, 1998).
Dalam perspektif teori kognisi sosial, prilaku maladaptive peserta didik disebabkan karena faktor-faktor personal,
sosial dan prilaku. Ketiganya saling memengaruhi dan dipengaruhi oleh yang
lain. Interaksi yang saling memengaruhi dari ketiga faktor tersebut dalam
memunculkan perilaku yang dipelajari, oleh Bandura disebut sebagai determinisme
resiprokal (Woolfolk, 2008). Dengan demi-kian proses-proses kognitif, dalam hal
ini regulasi diri dan kesadaran moral,
ikut mempengaruhi niat (intensi) individu merubah perilakunya yang tidak
konstruktif menjadi lebih konstruktif dan adaptif. Oleh karena itu, dapat
diasumsikan bahwa intensitas perilaku maladaptive
peserta didik dapat diminimalisir dengan membantu dan melatih mereka
ketrampilan-ketrampilan pengaturan diri (self-regulation).
MENGEMBANGKAN
REGULASI DIRI SISWA
Self-regulation memainkan
peran strategis dalam membantu individu-individu mencapai keberhasilan dalam
hidupnya. Pintrick (dalam Schunk, 2005) menemukan bukti-bukti bahwa peserta
didik dengan strategi self-regulatory
yang lebih adaptif memper-lihatkan belajar yang lebih baik serta motivasi
belajar yang lebih tinggi. Ia juga menemukan bukti bahwa self-efficacy,
nilai intrinsik, penggunaan strategi kognitif, berkorelasi positif dengan self-regulation. Karena itu upaya-upaya
pengembangan regulasi diri siswa sangat mendesak untuk segera dilaksanakan,
mengingat semakin banyaknya remaja (siswa) kita yang terlena dan terseret arus
negatif globalisasi.
Self-regulation
merupakan suatu ketrampilan yang dapat dilatih dan dikem-bangkan. Keluarga dan
sekolah sebagai institusi pendidikan terpenting secara siste-matis dan
kolaboratif dapat mengupayakan pengembangan regulasi diri siswa. Berikut ini beberapa
hal yang dapat ditempuh untuk mengembangkan ketrampilan tersebut, baik oleh
keluarga maupun sekolah-sekolah.
Mengintegrasikan Pelatihan Regulasi
Diri Ke Dalam Pembelajaran
Pelatihan Self-regulation dapat diintegrasikan ke
dalam proses pembelajaran dan juga dapat dilaksanakan secara mandiri melalui
program-program khusus. In-tegrasi pelatihan self-regulation ke dalam
proses pembelajaran menuntut beberapa syarat awal, yakni pemahaman guru
terhadap komponen-komponen dan proses kerja self-regulation;
kemampuan guru menciptakan inovasi-inovasi pembelajaran yang mempromosikan self-regulation; kesediaan guru untuk
menjadi model yang menampilkan regulasi diri dalam tindakannya; dan kemampuan
guru membimbing dan memandu siswa berlatih regulasi diri secara asertif dan
bijaksana.
Langkah-langkah
yang dapat ditempuh guru, antara lain: 1) meminta dan membantu siswa merumuskan
tujuan-tujuan belajar yang akan dicapai. Ini dilaku-kan di awal-awal
pembelajaran. Misalnya: berapa nilai yang ditargetkan atau materi atau
ketrampilan apa yang ingin dikuasai siswa pada suatu semester; 2) meminta dan
membantu siswa menyusun rencana-rencana kegiatan yang akan ditempuh untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, misalnya: menghafal kosa kata bahasa
Inggris setiap hari 5 kosa kata; 3) meyakinkan siswa bahwa mereka bisa mencapai
apa yang mereka inginkan dan bahwa mereka bisa melaksanakan semua rencana
pencapai yang telah ditetapkan; 4) melatih siswa bagaimana melakukan self-control. Guru melatih siswa membuat
instruksi-instruksi diri, dan bagaimana mengatasi keinginan-keinginan yang
dapat menghambat pencapaian tujuan; 5) melatih siswa cara memonitor
kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dan apa yang belum, misalnya: membuat cek
list yang memuat hal-hal yang harus dilakukan; 6) melatih dan membantu siswa
melakukan penilaian diri mengenai sejauh mana pencapaian tujuan-tujuan yang
telah ditetapkan dan mengidentifikasi faktor-faktor penyebab keberhasilan
maupun kegagalan; 7) melatih dan membimbing siswa membuat rekasi-reaksi yang
wajar dan proporsional terhadap keberhasilan maupun kegagalan mencapai tujuan;
dan 8) merevisi atau menstruktur ulang tujuan-tujuan dan strategi pencapain.
Membiasakan
Anak Beribadah Secara Teratur
Self-regulation
dapat dikembangkan melalui pembiasaan melaksanakan ibadah secara teratur sejak
usia dini. Menurut Galton, 1875 (dalam McCullough, ME. & Willoughby, BL.
B., 2009) ibadah berfungsi memengaruhi fungsi regulasi diri. Pendapat Galton
ini pada akhirnya menjadi semakin meyakinkan, berkat adanya bukti-bukti empiris
hasil penelitian.
McCullough, ME. & Willoughby, BL. B.(2009)
mengungkapkan temuan banyak peneliti tentang hubungan atau pengaruh pelaksanaan
ritual ibadah terhadap peningkatan self-regulation.
Misalnya, studi yang dilakukan Aftanas & Goloshey-kin, 2005; Azari et al.,
2005; Brefczynski-Lewis, Lutz, Schaefer, Levinson, & Da-vidson, 2007;
Newberg et al., 2003 (dalam Chan & Woollacott, 2007; Tang et al., 2007),
menunjukkan bahwa beberapa bentuk meditasi dan ibadah mempengaruhi
daerah-daerah korteks yang berhubung-an dengan self-regulation; mempengaruhi variabel-variabel atensional yang
mendasari self-regulation.
Disamping itu, beberapa
peneliti seperti Aziz & Rehman, 1996; e.g., Bergin et al., 1987; Desmond et
al., 2008; French et al., 2008. Menemukan bukti-bukti kuat bahwa agama berkorelasi
positif dengan pengendalian diri serta sifat-sifat seperti keramahan dan
kesadaran yang dianggap oleh banyak teori menjadi substrat kepribadian dasar
pengendalian diri. Sementara penelitian McNamara, 2002 (dalam McCullough, ME. &
Willoughby, BL. B.(2009) membuktikan bahwa salah satu efek dari perilaku
keagamaan seperti berdo’a dan meditasi adalah menjadi aktifnya lobus frontal. Karena
itu menurut McNamara, sebagai hasil dari do’a yang dinduksikan, seseorang menjadi
lebih efektif dalam fungsi eksekutif seperti pengaturan emosi dan mengendalikan
impuls.
Berdasarkan fakta-fakta
empiris di atas, maka sangat layak bagi masyarakat Indonesia yang relegius
untuk membiasakan anak-anaknya beribadah secara rutin sejak dini. Lebih lanjut,
pembiasaan yang dimulai dari rumah ini hendaknya bisa ditindaklanjuti dan
diperkuat di sekolah dengan mengaktifkan program-program keagamaan di sekolah.
Bahkan sangat mungkin untuk menyusun program-program keagamaan kolaboratif antara orang tua dan
sekolah dalam rangka membiasakan siswa melaksanakan kegiatan ibadah secara
teratur.
KESIMPULAN
Mengembangkan
regulasi diri siswa memberikan banyak manfaat bagi kehidupan siswa saat ini dan
lebih-lebih di waktu-waktu mendatang, karena hanya individu yang trampil
meregulasi dirinyalah yang memiliki peluang besar untuk meraih kesuksesan dalam
hidupnya. Sedangkan cara paling efektif untuk membentuk dan meningkatkan
ketrampilan regulasi diri adalah dengan mengintegrasikan ke dalam proses
pembelajaran, dan membiasakan mereka secara taat melaksanakan ibadah-ibadah
yang menjadi ajaran agamanya, semenjak usia dini.
DAFTAR
PUSTAKA
Adeiza, M., 2010. Communities
and Character in an Age of Globalization: The Family Option. http://www.firstprinciplesjournal.com/articles.aspx?
article=1400&loc=r . Diakses pada tanggal 14 Nopember 2011.
Bauer, Isabelle M.
& Baumeister, Roy
F., 2011. Self-Regulatory Strength dalam Handbook of
Self-Regulation, editor: Vohs, K.D. &
Baumeister, Roy
F. New York: The Guilford Press.
Brynt, Peter. 2009. Self-regulation
and moral awareness among entrepreneurs. Journal of Business Venturing,
(24): 505–518.
Çubukçu, Feryal. 2008. A Study On The Correlation
Between Self Efficacy And Foreign Language Learning Anxiety. Journal of Theory and Practice in Education.
4 (1):148-158.
Driscoll,
Mary P., 2005. Psychology of Learning for Instruction, 3rd ed. Boston: Pearson
Education, Inc.
Handarini, D.M.,
2011. Membedah Perilaku Manusia Indonesia
Modern di Era Globalisasi: Suatu Pendekatan Holistik Multidisipliner untuk
Menjawab Tantangan Jaman. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Membedah
Perilaku Indonesia Modern di Era Globalisasi, Fakultas Psikologi Universitas
Pelita Harapan, Surabaya, 13 Nopember.
Kadhiravan, S & Suresh, V, 2008. Self-Regulated Behaviour at
Work. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology. Vol. 34,
Special Issue, 126-131.
Lapsley, DK. , 2008. Moral
Self-Identity as the Aim of Education. Dalam Larry P. Nucci (Ed.), Handbook of Moral and Character Education (hal.
30-52). New York: Routledge.
Lynn, LN., Cuskelly, M.,
O’Callaghan, MJ. & Gray, PH. 2011. Self-regulation:
A New Perspective on Learning Problems Experienced by Children Born Extremely
Preterm. Australian Journal of Educational & Developmental
Psychology, 11: 1-10.
McCullough, ME. &
Willoughby, BL. B., 2009. Religion, Self-Regulation, and Self-Control:
Associations, Explanations, and Implications. Psychological Bulletin, 35, ( 1): 69–93.
Oakland, Thomas &
Harrison, Patti L., 2008. ABAS-II Clinical and Use and Interpretation. Washington,
DC.
Rothman, Alexander J., Baldwin, Austin S., Hertel,
Andrew W. dan Fuglestad, Paul T. 2011. Self-Regulation and Behavior Change:
Disentangling Behavioral Initiation and Behavioral Maintenance, dalam Handbook
of Self-Regulation, editor: Vohs, K.D. &
Baumeister, Roy
F. New York: The Guilford Press.
Schunk, DH., 2005. Self-regulated
learning: The educational legacy of Paul R. Pintrich. Educational
Psychologist: 40: 85-94.
(Online), (Error! Hyperlink reference not valid.),
diakses 18 September 2011.
Schunk, DH., 2012. Learning Theories: An Educational
Perspective. Boston: Allyn & Bacon. Dari Gigapedia, (Online), (http://www.gigapedia.com), diakses 18
September 2011.
Woolfolk, Anita. 2008, Educational Psychology: Active Learning Edition (Volume 2). Terjemahan Helly Prajitno Soetjipto
& Sri Mulyantini Soetjipto. 2009. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wren, T., 2008. Philosophical
Moorings. Dalam Larry P. Nucci (Ed.), Handbook
of Moral and Character Education (hal. 11-29). New York: Routledge.
Zimmerman, Barry J. 2000. Attaining
Self-Regulation: A Social Cognitive Perspective, dalam Handbook of
Self-Regulation. Editor: Boekaerts,
M., Pintrich. Paul R. & Zeidner, M.
USA: Academic Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar