Welcome to the Arena of Science

The ultimate happiness can only be achieved with useful knowledge

Sabtu, 26 Mei 2012


MENGEMBANGKAN REGULASI DIRI SISWA:
(Ikhtiar Menuju Terbentuknya Kesadaran Moral dan Prilaku Adaptif Siswa)
Oleh: Moh. Mahfudz Faqih

Abstract
One of the manifestation of the negative influences of globalization is the increasing maladaptive behavior among teenagers. Maladaptive behavior is a manifestation of the less skilfully teenagers in aspects of intrapersonal and / or interpersonal. One of the important is the self-regulation, that it is a systematic efforts to direct thoughts, feelings and actions towards the achievement of objectives. Moral awareness is a person's determination that a situation contains moral content and legitimately can be considered from a moral point of view. While the adaptive behavior is a person's ability to harmonize and modify their behavior to fit the demands of the situation. Based on the theory of social cognition, it is assumed that self-regulation can increase the intensity of moral awareness and minimize maladaptive behaviors of students. Self-regulation of the student can be developed at the school through integration into the learning process, and in the family through habituation to worship regularly.
Key words: Self-regulation, Moral awareness, Maladaptive behaviors.

Globalisasi merupakan sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan. Setiap bangsa dan negara pasti akan menghadapi gelombang globalisasi, kini atau di waktu-waktu mendatang, karena globalisasi merupakan salah satu tahap perkembangan kebudayaan manusia. Globalisasi mencakup transfer budaya dan teknologi, dan pengembangan regulasi internasional. Dalam kondisi seperti ini batas-batas antar negara menjadi susut atau bahkan “hilang”. Adeiza (2010) menyebutnya sebagai “desa global” di mana kehidupan kita sehari-hari secara signifikan dipengaruhi oleh produk, layanan, dan gambar yang berasal dari negara dan budaya lain. Dengan kata lain, era globalisasi memaksa setiap komunitas menjadi masyarakat terbuka yang memiliki peluang untuk mempengaruhi ataupun dipengaruhi komunitas masyarakat lainnya dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam struktur masyarakat terbuka seperti itu, yang lebih besar kecen-derungannya terpapar pengaruh negatif globalisisasi adalah masyarakat berkem-bang. Sedangkan yang paling rentan terpapar pengaruh negatif globalisasi adalah remaja. Hal ini disebabkan karena remaja berada dalam masa transisi dan pencarian identitas diri menuju kondisi menjadi (on becoming). Dalam proses ini remaja cenderung meniru  berbagai perilaku dan/atau sikap-sikap di luar dirinya. Ini akan mengakibatkan proses be coming mereka terganggu, bilamana remaja tidak memi-liki karakter intrapersonal dan interpersonal yg kuat, dan dibutuhkan untuk bisa survive dalam arus globalisasi tersebut. Beberapa karakter intrapersonal yg dibutuh-kan agar individu bisa survive dalam arus globalisasi antara lain: ketangguhan, empati, kemampuan adaptasi, kreativitas, ketrampilan mengelola stres, disiplin diri, tanggungjawab dan etika kerja. Sedangkan karakter interpersonal yg dipersyaratkan antara lain: ketrampilan komunikasi, kesadaran multikutural, kemampuan multi-lingual, ketrampilan menejemen/regulasi diri dan kerjasama (Handarini, 2011).
Salah satu wujud pengaruh negatif globalisasi adalah meningkatnya perilaku “maladaptive” di kalangan remaja. Prilaku maladaptive pada dasarnya merupakan manifestasi dari kurang trampilnya (Lack of Skills) remaja dalam aspek intraper-sonal dan/atau interpersonal.
Di lingkungan sekolah, hampir setiap hari ditemukan bentuk-bentuk kena-kalan peserta didik mulai dari yang ringan hingga yang tergolong berat. Pertengkaran dan perkelahian antar pelajar; penipuan dan pencurian; konsumsi miras dan obat-obat psikotropika; pelecehan seksual; bahkan pesta seks adalah tontonan yang sering kita lihat di hampir setiap sekolah. Bahkan saat ini, bentuk-bentuk kenakalan peserta didik tersebut tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah perkotaan, tetapi sudah merambah ke sekolah-sekolah di pelosok desa. Sementara di luar sekolah fenomena di atas lebih menggejala dalam bentuk yang sangat variatif. Hampir setiap waktu, media cetak dan elektronik menginformasikan bentuk-bentuk kejahatan dan kriminalitas yang melibatkan peserta didik sebagai pelaku. Perkelahian dan tawuran pelajar antar sekolah; penodongan dan peram-pokan; pengedaran obat-obat terlarang; aborsi; pemerkosaan hingga pembunuhan oleh ‘peserta didik’ adalah cerita sehari-hari yang kita dengar. Fenomena iini membuktikan bahwa pelajar kita belum memiliki persiapan yang memadai dalam bentuk keahlian dan ketrampilan-ketrampilan psikologis (liveskills) yang dibutuh-kan untuk berada dalam putaran arus globalisasi, dan sebagai akibatnya mereka cenderung terseret arus dan tercerabut dari akar budayanya.
Tulisan ini mencoba mengurai suatu relasi konseptual tentang usaha menumbuhkan kesadaran moral dan prilaku adaptive di kalangan remaja melalui penguasaan ketrampilan self-regulation.

SELF-REGULATION
Self-regulation merupakan salah satu tema sentral dalam teori kognisi sosial. Menurut Bandura,1986 (dalam Zimmerman, 2000) Self-regulation merupakan interaksi proses-proses triadic dari faktor personal, prilaku, dan lingkungan. Dalam perspektif teori ini,  Self-regulation menunjuk pada aktivasi pikiran-pikiran, perasa-an-perasaan dan tindakan-tindakan yang direncanakan dan secara siklikal diadap-tasikan untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi (Zimmerman, 2000). Pintrich, 2000 (dalam Kadhiravan, S & Suresh, V, 2008) merumuskan self-regulation sebagai proses-proses membangun yang aktif dimana seseorang menetapkan tujuan-tujuan bagi belajar/pekerjaan/hidupnya dan kemudian berupaya memantau, mengatur, dan mengendalikan pikiran,  motivasi dan prilaku mereka yang dipandu dan dibatasi oleh tujuan-tujuan mereka dan segi-segi kon-tekstual dari lingkungan. Dengan demikian self-regulation berkaitan erat dengan penetapan tujuan dan orientasi-orientasi  tujuan individu, yang menggerakkannya secara sadar dan aktif untuk menyusun rencana dan strategi pencapaian; diikuti dengan upaya koordinasi dan pendayagunaan segenap potensi pikiran, emosi dan prilaku menuju tujuan yang ditetapkan.
Bauer & Baumeister (2011) mendefinisikan regulasi diri dari sisi yang berbeda, yaitu kemampuan mengesampingkan atau menolak kecenderungan alami dan otomatis, keinginan, atau perilaku, untuk mengejar tujuan jangka panjang, bahkan dengan mengorbankan kegiatan-kegiatan jangka pendek, dan untuk mengi-kuti norma dan aturan-aturan sosial yang ditentukan.  Dengan kata lain, pengaturan diri adalah kemampuan untuk mengubah respon-respon diri untuk mencapai keadaan atau hasil yang diinginkan. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka hasil yang diharapkan tidak akan muncul secara alami. Dengan demikian, tujuan dari regulasi-diri adalah memotong kecenderungan-kecenderungan diri mengikuti pemandu yang bekerja otomatis, untuk kemudian mengarahkan perilaku sadar dalam arah yang diinginkan.
Dalam perspektif  teori ‘kognisi sosial’ regulasi diri memiliki dan berjalan di atas tiga komponen (Zimmerman, 2000). Pertama, Forethought. Komponen ini mengacu pada proses-proses yang berpengaruh yang mendahului tindakan, dan proses menetapkan tahapan pencapaiannya. Komponen pemikiran ini meliputi dua sub komponen yang berbeda, yakni: 1) task analysis; dan 2) self-motivational beliefs. Wujud dari task analysis berupa kegiatan penetapan tujuan. Ini berarti individu membuat keputusan tentang hasil-hasil belajar atau penampilan khusus yang ingin dicapai. Bentuk analisis tugas yang kedua adalah menyusun dan menetapkan rencana strategi pencapaian (strategic planning). Penetapan strategi pencapaian yang akurat akan meningkatkan kinerja atau performen individu melalui mekanisme bantuan pada kognisi, mengendalikan pengaruh, dan meng-arahkan pelaksanaan tindakan (Pressley & Wolloshyn, dalam Zimmerman, 2000). Sedangkan self-motivational beliefs mengacu pada sejumlah atribut internal yang bahkan mendasari proses penetapan tujuan dan penyusunan rencana strategi pencapaian, yang meliputi: self-efficacy, ekspektasi hasil, minat atau nilai intrinsik, dan orientasi tujuan.
Self-efficacy mengacu pada penilaian orang mengenai kemampuannya mengorganisir dan melaksanakan serangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai jenis hasil atau kinerja yang telah ditetapkan (Bandura, dalam Çubukçu, 2008). Sedangkan ekspektasi hasil mengacu pada keyakinan tentang hasil akhir dari suatu kinerja (Zimmerman, 2000). Minat intrinsik merupakan kondisi dimana individu termotivasi secara internal sebagai pengaruh dari tujuan-tujuan yang ditetapkannya, sebagaimana dikatakan Bandura, 1977 (dalam Driscoll, 2005) bahwa tujuan-tujuan yang ditetapkan secara aktif dapat menjadi sumber penting bagi motivasi. Orientasi tujuan individu meliputi dua tipe orientasi, yakni: performance goal dan learning goal (Driscoll, 2005). Performance goal adalah tujuan-tujuan yang diorientasikan pada hasil kinerja, misalnya “saya ingin mendapatkan nilai A pada mata pelajaran biologi”. Sedangkan learning goal adalah tujuan yang diorientasikan pada proses, misalnya pernyataan “saya ingin mengerti proses perkembangan makhluq hidup”.
Kedua, Performance Or Volitional Control. Komponen ini melibatkan proses yang terjadi selama upaya-upaya motorik serta proses mempengaruhi perhatian dan tindakan. Komponen ini juga memiliki dua sub komponen, yakni: 1) Self-control. Hal ini mencakup beberapa kemampuan internal, seperti instruksi diri, membuat gambaran mental (imagery), memusatkan perhatian, dan strategi-strategi tugas. Proses-proses self-control tersebut akan membantu pebelajar atau pelaku untuk fokus pada tugas dan mengoptimalkan usaha-usaha mereka (Zimmerman, 2000); 2) Self-observation. Hal ini mengacu pada pelacakan seseorang mengenai aspek-aspek spesifik dari kinerja mereka sendiri, kondisi yang mengelilinginya, dan efek-efek yang dihasilkannya (Zimmerman & Paulsen, dalam Zimmerman, 2000). Penetapan tujuan yang dilakukan pada fase forethought mempermudah self- observation, karena tujuannya terfokus pada proses yang spesifik dan terhadap kejadian di sekelilingnya. Tedapat dua kemampuan internal yang terlibat dalam self-observation ini, yaitu: self-recording dan self-experimentation. Catatan diri dapat menangkap informasi pribadi pada titik dimana hal itu terjadi, menyusunnya menjadi lebih bermakna, memelihara keakuratan tanpa perlu mengganggu latihan, dan menyediakan data base panjang untuk membedakan bukti kemajuan
Ketiga, Self reflection.  Komponen ini melibatkan proses yang terjadi setelah upaya tindakan atau performen dan proses mempengaruhi respon seseorang terhadap pengalaman. Refleksi diri ini, pada gilirannya, mempengaruhi pemikiran tentang upaya-upaya motorik. Komponen ini meliputi dua sub komponen (Zimmerman, 2000), yaitu: 1) Self-evaluation, yang meliputi self judgement terhadap performen yang ditampilkannya dalam upaya mencapai tujuan dan menje-laskan penyebab yang signifikan terhadap hasil yang dicapainya. Self evaluation mengarah pada upaya untuk membandingkan informasi yang diperolehnya melalui self-monitoring dengan standar atau tujuan yang telah ditetapkan pada fase forethought; 2) Self-reaction. Proses yang kedua yang terjadi pada fase ini adalah reaksi diri yang terus menerus akan memperngaruhi fase forethought dan seringkali berdampak pada performen yang ditampilkannya di masa mendatang terhadap tujuan yang ditetapkannya.
Ketiga komponen self-regulation di atas dan siklus kerjanya dapat divisualisasikan sebagai berikut:


Performance Or Volitional Control (Fase II)
self-control
self-observation

 
Forethought (Fase I)
task analysis
self-motivational beliefs

 
Self reflection
(Fase III)
self-evaluation
self-reaction

 
 








Gambar 1: Komponen dan Siklus Terjadinya self-regulation
Sumber: Zimmerman, 2000

MORAL AWARENESS
Sepanjang sejarah peradaban manusia, moralitas senantiasa dianggap penting bagi keberlangsungan kesejahteraan dan peradaban. Sebagian besar orang tua atau bahkan semua orang tua ingin membesarkan anak-anak mereka agar menjadi baik, yakni menjadi individu yang memiliki sifat-sifat yang diharapkan dan patut dipuji, berkepribadian dengan dasar etika yang kuat. Oleh karena itu tidaklah berlebihan bilamana sebagian filosouf dan ilmuwan (Dewey, 1909; Bryk, 1988; Goodlad, 1992; Goodman & Lesnick, 2001; McClellan, 1999) berpendapat bahwa pembentukan moral anak adalah salah satu tujuan fundamental pendidikan formal  (Lapsley, DK. , 2008). Moralitas dan pendidikan moral memiliki dua sisi, yakni sisi luar dan sisi dalam. Sisi luar moralitas menyediakan cara berhubungan dengan orang lain, sedangkan sisi dalam adalah mengenai cara bagaimana bergaul dengan diri sendiri (Wren, T., 2008)..
Moral awareness, didefinisikan sebagai “penetapan seseroang bahwa suatu situasi mengandung muatan moral, dan bahwa ia mampu membuat pertimbangan-pertimbangan legal dari sudut pandang moral (Reynolds, dalam Bryant, 2009). Lebih jauh Reynolds berpendapat bahwa kesadaran moral distimulasi oleh perha-tian seseorang terhadap dua karakteristik situasi, yakni: kehadiran bahaya, dan pelanggaran norma-norma perilaku. Artinya, jika suatu situasi dirasakan membawa kerugian atau menyebabkan pelanggaran norma-norma perilaku, maka seseorang akan mengakui bahwa suatu situasi bermuatan  moral dan ia akan mempertimbang-kan hal itu dari sudut pandang moral.
Perhatian seseorang terhadap kedua karakteristik situasi tersebut berbeda-beda dalam setiap situasi, bergantung pada beberapa faktor. Salah satu faktor yang memberi kontribusi terhadap kesadaran moral adalah karakteristik seseorang. Karena itu, karakter individu akan turut menentukan apakah individu yang bersangkutan akan cenderung memberi perhatian atau tidak terhadap segi-segi moral dari situasi, yang pada gilirannya akan merangsang kesadaran moralnya. Sedangkan menurut Bandura (Bryant, 2009) faktor-faktor sosial dan kognitif bersama-sama memengaruhi individu dalam menciptakan identitas moral serta mengadopsi norma-norma perilaku.

ADAPTIVE BEHAVIOR
Perilaku adaptif mengacu pada cara-cara yang digunakan individu dalam memenuhi kebutuhan pribadi mereka maupun dalam menghadapi tuntutan alam dan sosial di lingkungannya (Nihira, dkk., dalam Oakland, T. & Harrison, P.L.,  2008). American Association on Mental Retardation (AAMR) mendefinisikannya sebagai keefektifan individu untuk beradaptasi terhadap tuntutan alam dan sosial dalam lingkungannya yang tercermin dalam kematangan, belajar dan penyesuaian sosialnya  (Nihira, dkk., dalam dalam Oakland, T. & Harrison, P.L.,  2008).  Dari dafinisi di atas dapat disimpulkan bahwa adaptive behavior merupakan kemampuan seseorang untuk menyelaraskan dan mengubah prilakunya agar sesuai dengan tuntutan situasi.
AAMR, lebih jauh menjelaskan bahwa adaptive behavior memiliki dua tingkat. Pertama: sejauh mana individu dapat berfungsi dan mempertahankan dirinya sendiri; kedua, sejauh mana individu dapat memenuhi secara memuaskan
tuntutan tanggung jawab pribadi dan sosialnya yang diterapkan secara kultural.
Selanjutnya AAMR (Nihira, dkk., dalam dalam Oakland, T. & Harrison, P.L.,  2008) mengidentifikasi tiga bidang dari prilaku adaptif, yaitu:
1.        Konseptual, yang meliputi: komunikasi, berfungsinya aspek-aspek akademik, pengarahan diri, kesehatan dan ketrampilan-ketrampilan keselamatan;
2.        Praktis, yang terdiri dari ketrampilan-ketrampilan sosial dan mengisi waktu luang;
3.        Sosial, yang mencakup: perawatan diri, ketrampilan hidup di rumah / sekolah, menggunakan sumber daya dalam masyarakat, kesehatan dan keselamatan, serta ketrampilan-ketrampilan untuk bekerja;

PENGARUH SELF-REGULATION TERHADAP MORAL AWARENESS DAN PENINGKATAN PRILAKU ADAPTIF
Pembahasan mengenai pengaruh self-regulation terhadap moral awareness dan perilaku adaptive berarti menganalisis bagaimana self-regulation dapat meningkatgkan moral awareness dan bagaimana kedua variabel tersebut dapat merubah perilaku maladaptive menjadi adaptive. Karena itu pembahasan mengenai hal tersebut, mau tidak mau harus melibatkan teori tentang pengubahan prilaku (Behavior Changes). Penelitian-penelitian tentang pengubahan prilaku melibatkan empat area penelitian yang telah menguji hubungan antara keadaan-keadaan psiko-logis dengan kemampuan seseorang untuk mengatur prilakunya, yakni: (1) self-efficacy, (2) regulatory focus, (3) self-regulatory strength, and (4) intrinsic–extrin-sic motivation (Rothman, dkk., 2011).
Salah satu konstruk teori self-regulation dari Bandura adalah self-efficacy (Brynt, 2009), yaitu keyakinan individu bahwa dirinya mampu menangani bidang-bidang tugas tertentu. Beberapa peneliti menemukan bukti bahwa self-efficacy dalam domain tugas terentu berkorelasi secara kuat dengan perasaan identitas moral dan keberhasilan menolak tekanan-tekanan sosial untuk mengkompromikan nilai-nilai moral dan norma-norma perilaku. Sebaliknya efikasi diri yang rendah mening-katkan kepekaan individu atas tekanan sosial untuk pelepasan moral dan etika (Bandura, dalam Brynt, 2009). Selain itu, orang-orang dengan self-efficacy yang kuat lebih mungkin untuk menjadi agen moral yang proaktif, yang berarti bahwa mereka bertindak untuk mempromosikan nilai-nilai moral dan norma-norma perilaku. Sedangkan, mereka dengan self-efficacy yang rendah lebih peduli dengan menghambat perilaku tidak etis dan mencegah pelanggaran norma-norma perilaku (Bandura, dalam Brynt, 2009).
Pengubahan perilaku tidak hanya menyangkut upaya mengadopsi perilaku baru, tetapi juga melibatkan mengekang pola-pola perilaku sebelumnya. Hal ini menyangkut kemampuan seseorang menahan diri untuk tidak mengulangi prilaku-prilaku yang sebelumnya telah dirubah. Karena itu menurut Baumeister, dkk. (dalam Rothman, dkk., 2011) untuk bisa menolak, menghambat atau mengubah kecen-derungan respon yang dominan, seseorang harus  memiliki tingkat kekuatan peng-aturan diri (self-regulatory strength) yang cukup. Self-regulatory strength adalah sumber kognitif yang terbatas yang dialirkan hanya pada saat seseorang berupaya mengatur emosi, pikiran dan prilaku-prilaku mereka (Rothman, dkk., 2011). Seba-liknya kekurangan self-regulatory strength dianggap sebagai penentu utama kega-galan regulasi diri, juga diperkirakan lebih mungkin mengalami kekambuhan, ketika orang tersebut dihadapkan pada tuntutan yang berulang-ulang untuk menge-lola pikiran, perasaan, atau perilaku mereka. Kesimpulan Rothman ini didasarkan pada beberapa hasil investigasi empiris yang dilakukan banyak peneliti di berbagai domain perilaku (seperti Baumeister, Bratslavsky, Muraven, & Tice, 1998; Muraven, Tice, & Baumeister, 1998).
Dalam perspektif teori kognisi sosial, prilaku maladaptive peserta didik disebabkan karena faktor-faktor personal, sosial dan prilaku. Ketiganya saling memengaruhi dan dipengaruhi oleh yang lain. Interaksi yang saling memengaruhi dari ketiga faktor tersebut dalam memunculkan perilaku yang dipelajari, oleh Bandura disebut sebagai determinisme resiprokal (Woolfolk, 2008). Dengan demi-kian proses-proses kognitif, dalam hal ini regulasi diri dan kesadaran moral,  ikut mempengaruhi niat (intensi) individu merubah perilakunya yang tidak konstruktif menjadi lebih konstruktif dan adaptif. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa intensitas perilaku maladaptive peserta didik dapat diminimalisir dengan membantu dan melatih mereka ketrampilan-ketrampilan pengaturan diri (self-regulation).



MENGEMBANGKAN REGULASI DIRI SISWA
Self-regulation memainkan peran strategis dalam membantu individu-individu mencapai keberhasilan dalam hidupnya. Pintrick (dalam Schunk, 2005) menemukan bukti-bukti bahwa peserta didik dengan strategi self-regulatory yang lebih adaptif memper-lihatkan belajar yang lebih baik serta motivasi belajar yang lebih tinggi. Ia juga menemukan bukti bahwa  self-efficacy, nilai intrinsik, penggunaan strategi kognitif, berkorelasi positif dengan self-regulation. Karena itu upaya-upaya pengembangan regulasi diri siswa sangat mendesak untuk segera dilaksanakan, mengingat semakin banyaknya remaja (siswa) kita yang terlena dan terseret arus negatif globalisasi.
Self-regulation merupakan suatu ketrampilan yang dapat dilatih dan dikem-bangkan. Keluarga dan sekolah sebagai institusi pendidikan terpenting secara siste-matis dan kolaboratif dapat mengupayakan pengembangan regulasi diri siswa. Berikut ini beberapa hal yang dapat ditempuh untuk mengembangkan ketrampilan tersebut, baik oleh keluarga maupun sekolah-sekolah.
Mengintegrasikan Pelatihan Regulasi Diri Ke Dalam Pembelajaran
Pelatihan Self-regulation dapat diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran dan juga dapat dilaksanakan secara mandiri melalui program-program khusus. In-tegrasi pelatihan self-regulation ke dalam proses pembelajaran menuntut beberapa syarat awal, yakni pemahaman guru terhadap komponen-komponen dan proses kerja self-regulation; kemampuan guru menciptakan inovasi-inovasi pembelajaran yang mempromosikan self-regulation; kesediaan guru untuk menjadi model yang menampilkan regulasi diri dalam tindakannya; dan kemampuan guru membimbing dan memandu siswa berlatih regulasi diri secara asertif dan bijaksana.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh guru, antara lain: 1) meminta dan membantu siswa merumuskan tujuan-tujuan belajar yang akan dicapai. Ini dilaku-kan di awal-awal pembelajaran. Misalnya: berapa nilai yang ditargetkan atau materi atau ketrampilan apa yang ingin dikuasai siswa pada suatu semester; 2) meminta dan membantu siswa menyusun rencana-rencana kegiatan yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, misalnya: menghafal kosa kata bahasa Inggris setiap hari 5 kosa kata; 3) meyakinkan siswa bahwa mereka bisa mencapai apa yang mereka inginkan dan bahwa mereka bisa melaksanakan semua rencana pencapai yang telah ditetapkan; 4) melatih siswa bagaimana melakukan self-control. Guru melatih siswa membuat instruksi-instruksi diri, dan bagaimana mengatasi keinginan-keinginan yang dapat menghambat pencapaian tujuan; 5) melatih siswa cara memonitor kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dan apa yang belum, misalnya: membuat cek list yang memuat hal-hal yang harus dilakukan; 6) melatih dan membantu siswa melakukan penilaian diri mengenai sejauh mana pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan mengidentifikasi faktor-faktor penyebab keberhasilan maupun kegagalan; 7) melatih dan membimbing siswa membuat rekasi-reaksi yang wajar dan proporsional terhadap keberhasilan maupun kegagalan mencapai tujuan; dan 8) merevisi atau menstruktur ulang tujuan-tujuan dan strategi pencapain.
Membiasakan Anak Beribadah Secara Teratur
Self-regulation dapat dikembangkan melalui pembiasaan melaksanakan ibadah secara teratur sejak usia dini. Menurut Galton, 1875 (dalam McCullough, ME. & Willoughby, BL. B., 2009) ibadah berfungsi memengaruhi fungsi regulasi diri. Pendapat Galton ini pada akhirnya menjadi semakin meyakinkan, berkat adanya bukti-bukti empiris hasil penelitian.
 McCullough, ME. & Willoughby, BL. B.(2009) mengungkapkan temuan banyak peneliti tentang hubungan atau pengaruh pelaksanaan ritual ibadah terhadap peningkatan self-regulation. Misalnya, studi yang dilakukan Aftanas & Goloshey-kin, 2005; Azari et al., 2005; Brefczynski-Lewis, Lutz, Schaefer, Levinson, & Da-vidson, 2007; Newberg et al., 2003 (dalam Chan & Woollacott, 2007; Tang et al., 2007), menunjukkan bahwa beberapa bentuk meditasi dan ibadah mempengaruhi daerah-daerah korteks yang berhubung-an dengan self-regulation; mempengaruhi variabel-variabel atensional yang mendasari self-regulation.
Disamping itu, beberapa peneliti seperti Aziz & Rehman, 1996; e.g., Bergin et al., 1987; Desmond et al., 2008; French et al., 2008. Menemukan bukti-bukti kuat bahwa agama berkorelasi positif dengan pengendalian diri serta sifat-sifat seperti keramahan dan kesadaran yang dianggap oleh banyak teori menjadi substrat kepribadian dasar pengendalian diri. Sementara penelitian McNamara, 2002 (dalam McCullough, ME. & Willoughby, BL. B.(2009) membuktikan bahwa salah satu efek dari perilaku keagamaan seperti berdo’a dan meditasi adalah menjadi aktifnya lobus frontal. Karena itu menurut McNamara, sebagai hasil dari do’a yang dinduksikan, seseorang menjadi lebih efektif dalam fungsi eksekutif seperti pengaturan emosi dan mengendalikan impuls.
Berdasarkan fakta-fakta empiris di atas, maka sangat layak bagi masyarakat Indonesia yang relegius untuk membiasakan anak-anaknya beribadah secara rutin sejak dini. Lebih lanjut, pembiasaan yang dimulai dari rumah ini hendaknya bisa ditindaklanjuti dan diperkuat di sekolah dengan mengaktifkan program-program keagamaan di sekolah. Bahkan sangat mungkin untuk menyusun program-program  keagamaan kolaboratif antara orang tua dan sekolah dalam rangka membiasakan siswa melaksanakan kegiatan ibadah secara teratur.

KESIMPULAN
Mengembangkan regulasi diri siswa memberikan banyak manfaat bagi kehidupan siswa saat ini dan lebih-lebih di waktu-waktu mendatang, karena hanya individu yang trampil meregulasi dirinyalah yang memiliki peluang besar untuk meraih kesuksesan dalam hidupnya. Sedangkan cara paling efektif untuk membentuk dan meningkatkan ketrampilan regulasi diri adalah dengan mengintegrasikan ke dalam proses pembelajaran, dan membiasakan mereka secara taat melaksanakan ibadah-ibadah yang menjadi ajaran agamanya, semenjak usia dini.









DAFTAR PUSTAKA
Adeiza, M., 2010. Communities and Character in an Age of Globalization: The Family Option. http://www.firstprinciplesjournal.com/articles.aspx? article=1400&loc=r . Diakses pada tanggal 14 Nopember 2011.
Bauer, Isabelle M. & Baumeister, Roy F., 2011. Self-Regulatory Strength dalam Handbook of Self-Regulation, editor: Vohs, K.D. &  Baumeister, Roy F. New York: The Guilford Press.

Brynt, Peter. 2009. Self-regulation and moral awareness among entrepreneurs. Journal of Business Venturing, (24): 505–518.

Çubukçu, Feryal. 2008. A Study On The Correlation Between Self Efficacy And Foreign Language Learning Anxiety. Journal of Theory and Practice in Education. 4 (1):148-158.

Driscoll, Mary P., 2005.  Psychology of Learning for Instruction, 3rd ed. Boston: Pearson Education, Inc.

Handarini, D.M., 2011. Membedah Perilaku Manusia Indonesia Modern di Era Globalisasi: Suatu Pendekatan Holistik Multidisipliner untuk Menjawab Tantangan Jaman. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Membedah Perilaku Indonesia Modern di Era Globalisasi, Fakultas Psikologi Universitas Pelita Harapan, Surabaya, 13 Nopember.

Kadhiravan, S & Suresh, V, 2008. Self-Regulated Behaviour at Work. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology. Vol. 34, Special Issue, 126-131.

Lapsley, DK. , 2008. Moral Self-Identity as the Aim of Education. Dalam Larry P. Nucci (Ed.), Handbook of Moral and Character Education (hal. 30-52). New York: Routledge.

Lynn, LN., Cuskelly, M., O’Callaghan, MJ. & Gray, PH. 2011. Self-regulation: A New Perspective on Learning Problems Experienced by Children Born Extremely Preterm. Australian Journal of Educational & Developmental Psychology, 11: 1-10.

McCullough, ME. & Willoughby, BL. B., 2009. Religion, Self-Regulation, and Self-Control: Associations, Explanations, and Implications. Psychological Bulletin, 35, ( 1): 69–93.

Oakland, Thomas & Harrison, Patti L., 2008. ABAS-II Clinical and Use and Interpretation. Washington, DC.

Rothman, Alexander J., Baldwin, Austin S., Hertel, Andrew W. dan Fuglestad, Paul T. 2011. Self-Regulation and Behavior Change: Disentangling Behavioral Initiation and Behavioral Maintenance, dalam Handbook of Self-Regulation, editor: Vohs, K.D. &  Baumeister, Roy F. New York: The Guilford Press.

Schunk, DH., 2005. Self-regulated learning: The educational legacy of Paul R. Pintrich. Educational Psychologist: 40: 85-94. (Online), (Error! Hyperlink reference not valid.), diakses 18 September 2011.

Schunk, DH., 2012. Learning Theories: An Educational Perspective. Boston: Allyn & Bacon. Dari Gigapedia, (Online), (http://www.gigapedia.com), diakses 18 September 2011.

Woolfolk, Anita. 2008, Educational Psychology: Active Learning Edition (Volume 2). Terjemahan Helly Prajitno Soetjipto & Sri Mulyantini Soetjipto. 2009. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wren, T., 2008. Philosophical Moorings. Dalam Larry P. Nucci (Ed.), Handbook of Moral and Character Education (hal. 11-29). New York: Routledge.

Zimmerman, Barry J. 2000. Attaining Self-Regulation: A Social Cognitive Perspective, dalam Handbook of Self-Regulation. Editor: Boekaerts, M.,  Pintrich. Paul R. & Zeidner, M. USA: Academic Press.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar