Welcome to the Arena of Science

The ultimate happiness can only be achieved with useful knowledge

Sabtu, 26 Mei 2012

Teori Perkembangan Kognitif Piaget


Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Transp_UM.png
Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: UM.png








TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF PIAGET




Disusun Oleh:
Moh. Mahfudz Faqih















DAFTAR ISI

Halaman sampul ......................................................................... 1
Daftar isi ....................................................................................... 2
Pendahuluan ............................................................................... 3
Faktor-faktor Yang Memengaruhi Perkembangan ............... 4
Proses Perkembangan Kognitif ................................................ 6
Tahap-tahap Perkembangan Kognitif ................................... 10
Kesimpulan ................................................................................ 20
Daftar Referensi ........................................................................ 21



PENDAHULUAN

Perkembangan kognitif  bukan sekedar bertambahnya fakta-fakta dan ide-ide baru ke dalam sistem penyimpanan informasi (memori) yang sudah ada. Perkembangan kognitif adalah perubahan bertahap dan teratur yang menyebabkan proses mental menjadi lebih kompleks dan canggih.  Jean Piaget merumuskan teori perkembangan kognitifnya berdasarkan pengamatan yang teliti terhadap ketiga anaknya dalam kurun waktu yang lama. Berdasarkan pengamatan yang panjang tersebut, Piaget sampai pada sebuah kesimpulan bahwa perkembangan, sebagian besar, tergantung pada manipulasi anak terhadap dan interaksi aktif dengan lingkungannya (Slavin, 2006). Anak-anak memperoleh dan membangun pengetahuan mereka dari tindakan-tindakan yang mereka lakukan dalam intereksi dengan lingkungannya. Ini berarti, semakin aktif seorang anak berinteraksi dengan lingkungannya, semakin besar peluangnya untuk mengalami percepatan dalam perkembangan kognitif dan perolehan pengetahuannya.
Dikarenakan pandangan-pandangan dasarnya tersebut, Piaget dianggap mewakili konstruktivisme, yang memandang bahwa setiap individu secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman atas banyak realitas melalui pengalaman-pengalaman dan interaksi-interaksi dengan lingkungan. Menurut Piaget (Young, 2011) pengetahuan tidak diberikan, diterima secara pasif, dan disalin langsung dari realitas, tetapi dibangun oleh pikiran dalam yang menyelidik, yang semakin mengembangkan suatu  pemahaman tentang pengetahuan yang sesuai dengan realitas eksternal. Bangunan sistem makna dan pemahaman atas realitas tersebutlah yang membuat struktur kognitif manusia selalu mengalami perubahan-perubahan yang progresif, sehingga menjadi kompleks dan canggih.
Di sisi lain, Piaget juga dipandang sebagai strukturalis (Young, 2011). Hal ini didasarkan pada pendapatnya bahwa struktur mental yang menyaring, menguraikan dan membentuk realitas merupakan totalitas hubungan yang terintegrasi yang disebutnya sebagai tahap perkembangan kognitif. Akan tetapi Piaget sendiri lebih menganggap dirinya sebagai epistimologis genetik daripada seorang psikolog perkembangan (Young, 2011). Piaget kurang tertarik pada perbedaan individual, karena menurutnya perkembangan kognitif bersifat universal atau paling tidak menganggap progres perkembangan diantara semua orang adalah sama, meskipun tingkat perolehannya bisa bervariasi.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PERKEMBANGAN
Piaget mengidentifikasi empat faktor yang memengaruhi berbagai perubahan dalam kemampuan berfikir seorang individu, yaitu: kematangan biologis, aktivitas, pengalaman sosial, dan equilibrasi (Woolfolk, 2008). Kematangan memberi kontribusi terhadap kemampuan individu memahami dunia, karena kematangan memungkinkan jaringan sel-sel berfungsi secara optimal. Aktivitas anak dalam lingkungannya memberi peluang bagi anak tersebut untuk melakukan eksperimen melalui serangkaian kegiatan observasi, ekplorasi, menguji, dan kemudian mengorganisasikan informasi yang ditangkap dari lingkungannya. Dari serangkaian aktivitas tersebut anak akan memperoleh hal-hal baru yang pada gilirannya akan mengubah proses-proses berfikirnya. Transmisi sosial terjadi melalui interaksi anak dengan lingkungan sosialnya, dimana anak akan belajar banyak hal dari orang lain, terutama menyangkut kebudayaan. Perolehan berbagai pengetahuan selama transmisi sosial tersebut, lebih lanjut, akan mengubah kemampuan dan proses berfikirnya. Selama menjalin interaksi dengan lingkungan, ada kalanya seorang individu mengalami suatu kondisi ketidak seimbangan, yang oleh Piaget disebut sebgai disequilibrium, yaitu suatu keadaan “tidak seimbang” yang terjadi karena cara berfikir yang digunakan saat ini tidak mampu menyelesaikan suatu masalah atau memahami situasi. Karena itu individu terdorong melakukan equilibrasi, yaitu pencarian keseimbangan mental antara skema-skema kognitif dan informasi dari lingkungan (Woolfolk, 2008).

PROSES PERKEMBANGAN KOGNITIF
Untuk dapat memahami teori Piaget tentang bagaimana kemampuan berfikir manusia berkembang, perlu dipahami beberapa konsep kunci (organisasi, skema, adaptasi, asimilasi, adaptasi, disequilibrium, dan equilibrasi) yang secara sistematis menggambarkan perubahan dan kemajuan kemampuan berfikir manusia secara terus menerus dan berkesinambungan.
Dalam pandangan Piaget setiap organisme membawa dua kecenderungan dasar, yang ia istilahkan “invariant functions” atau fungsi-fungsi yang tidak berfariasi, yaitu organisasi dan adaptasi (Miller, 2011). Invariant functions adalah fungsi-fungsi intelektual yang beroperasi sepanjang perkembangan organisme.
Organisasi
Sepanjang hidupnya manusia akan selalu berhadapan dengan objek-objek tertentu, dalam bentuk informasi dan/atau pengalaman-pengalaman. Manusia memiliki kecenderungan untuk menata dan mengolah informasi serta pengalaman-pengalaman tersebut menjadi berbagai kategori mental atau struktur kognisi. kategorisasi mental semacam inilah yang oleh Piaget disebut organisasi.
Organisasi kognitif terdiri dari banyak struktur psikologis yang oleh Piaget disebut skema, yakni pola (sistem) perilaku dan pemikiran yang digunakan manusia untuk mengetahui atau memikirkan berbagai objek di dunia. Pada mulanya struktur-struktur ini pada bayi sangat sederhana, namun seiring dengan pertumbuhan dan perkembangannya struktur-struktur ini dikombinasiskan dan dikoordinasikan dengan struktur-struktur yang lain. Dengan skema ini manusia merepresentasikan secara mental atau memikirkan tentang berbagai objek di dunia.
Piaget membagi skema menjadi dua kategori, yaitu skema perilaku  dan skema mental (Santrock, 2009). Skema perilaku (aktivitas fisik) adalah skema yang digunakan bayi untuk mengenal objek-objek di sekitanya, yakni dengan cara menghisap, memegang, memukul dan membantingnya. Bayi menciptakan makna dalam sebuah cara yang aktif, tetapi hanya dengan menerapkan skema yang dimiliki terhadap objek-objek di dunia dari pada menggunakan simbol-simbol.
Sedangkan anak-anak yang lebih tua serta orang dewasa mengenal objek-objek disekitarnya melalui skema mental (aktivitas kognitif). Pada tahap ini, anak mengembangkan kemampuan untuk membuat gambaran-gambaran (representasi),  dalam arti penyajian ulang  dan penciptaan makna simbolis. Hal ini melibatkan kemampuan untuk menggunakan simbol-simbol dan tanda-tanda untuk menggambarkan sebuah objek yang tidak ada. Menurut Piaget, saat anak-anak berpikir secara simbolis, pada saat itu pula mereka mengintegrasikan skema dan representasi simbolik (Young, 2011). Pemikiran representasional simbolik membutuhkan penanda (signifiers) dan yang ditandai (signifieds). Penanda mengacu pada item representasi yang menyampaikan makna sedangkan yang ditandai mengacu pada makna yang dibawa oleh apa yang tampil sebagai penanda. Bagi Piaget,  berpikir melibatkan manipulasi simbol-simbol dan tanda-tanda (Young, 2011).
Adaptasi
Kecenderungan bawaan yang kedua adalah adaptasi. Menurut Piaget,  adaptasi adalah proses penyesuaian skema-skema dalam respon terhadap lingkungan (Slavin, 2006). Pertambahan usia anak menghantarkannya untuk berinteraksi dengan dunia yang semakin luas, yang berarti semakin banyak pula objek-objek baru yang dihadapi. Anak-anak menggunakan pola skema yang telah dimiliki dalam rangka mengenal dan mengetahui objek-objek baru tersebut yang tentunya tidak semua objek baru tersebut behasil dipahami menggunakan skema yang telah ada. Kegagalannya merespon dunia menggunakan skema yang telah dimiliki mendorong anak tersebut melakukan proses-proses adaptasi dengan suatu cara yang oleh Piaget disebut asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi, adalah proses memahami objek dan peristiwa baru berdasarkan skema yang ada. Jika anak dihadapkan pada objek atau peristiwa baru, ia akan mencoba menggunakan skema-skema yang ada padanya untuk belajar hal-hal yang tidak diketahui tersebut. Jika seorang bayi diberi mainan yang jika digerakkan mengeluarkan suara gemerincing, maka ia mungkin akan menyentuhnya dan ketika tanpa sengaja ia menggerak-gerakkannya, mainan tersebut mengeluarkan suara gemerincing. Pada saat itu anak telah belajar dan memperoleh skema baru menghadapi mainan tersebut. Setelah selang beberapa waktu anak disodori mainan baru (senjata mainan) yang berbeda dengan mainan yang pertama tadi, besar kemungkinan anak tersebut akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya pada mainan pertama, yakni mengambil dan kemudian menggerak-gerakkannya. Dengan cara yang sama, seorang konselor yang telah berhasil menangani seorang siswa perokok dengan pendekatan behavioral, maka ketika ia dihadapkan pada siswa pecandu obat-obat terlarang, ada kemungkinan ia akan menerapkan skema yang sama (menggunakan pendekatan konseling yang sama) terhadap klien pecandu tersebut. Dalam situasi seperti ini, mungkin saja ia mengalami kegagalan menerapkan skema yang telah ada untuk menangani klien pecandu tersebut.
Akomodasi, adalah proses modifikasi skema yang sudah ada agar cocok atau sesuai dengan informasi atau pengalaman-pengalaman baru. Pada saat individu menghadapi objek-objek baru yang tidak dapat didekati dengan skema yang sudah dimiliki, maka individu tersebut akan mengembangkan dalam skemanya struktur-struktur baru yang lebih sesuai. Jadi menurut Piaget, skema individulah yang harus disesuaikan, dan bukannya informasi atau pengalaman baru tersebut. Pada saat seorang anak menggerak-gerakkan senjata mainan dan ternyata tidak menghasilkan suara gemerincing, dan pada saat yang sama seorang anak yang lain memainkan senjata mainan tersebut dihadapannya yang menghasikan suara letusan, maka pada saat itu pula ia akan merubah konsepnya tentang mainan bahwa tidak semua mainan akan menghasilkan suara gemerincing.
Pada saat-saat tertentu individu menyaring pengalaman-pengalaman tertentu agar sesuai dengan jenis berpikir yang digunakan. Pengalaman yang terlalu asing bagi individu tersebut mungkin akan diabaikan. Dengan kata lain proses asimilasi dan akomodasi tidak dilakukannya, karena melakukannya akan menimbulkan kecemasan luar biasa bila pengalaman baru tersebut berada jauh dari jangkauan skema yang telah dimiliki, atau mungkin karena hal baru tersebut kurang mampu menarik perhatianya (Woolfolk, 2008).

TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN KOGNITIF
Di dalam psikologi perkembangan terdapat banyak ahli yang merumuskan teori perkembangan mental manusia. Namun demikian, teori tentang tahap-tahap perkembangan kognitif Piaget ini sedikit berbeda dari teori-teori lain. Dalam pandangan Piaget, suatu tahap adalah suatu periode waktu dimana pikiran dan perilaku anak dalam berbagai situasi cenderung mencerminkan suatu tipe struktur mental tertentu yang mendasari pikiran dan perilaku mereka (Miller, 2011).
Teori tahap perkembangan Piaget ini memiliki 5 (lima) karakteristik penting yang membedakannya dengan teori-teori lain. Kelima karakteristik tersebut, sebagaiamana disarikan dari Miller (20110, adalah sebagai berikut:
Pertama, suatu tahap adalah keseluruhan yang terstruktur dalam keadaan seimbang (equilibrium). Setiap tahap memiliki struktur yang berbeda, yang menyediakan tipe interaksi yang berbeda antara anak dengan lingkungannya. Perbedaan strukutr dan tipe interaksi tersebut pada gilirannya melahirkan cara pandang yang berbeda pula terhadap dunia. Dan selama berinteraksi dengan lingkunga, seorang anak mengembangkan skema-skema atau operasi-operasi yang saling terhubung satu dengan lainnya untuk membentuk keseluruhan yang terorganisir. Jadi intisari teori pentahapan kognitif dari Piaget adalah bahwa perkembangan melalui tahapan-tahapan yang meliputi perubahan-perubahan struktur kognitif yang lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif, sehingga pada setiap akhir periode utama perkembangan, struktur-struktur kognitif menjadi stabil atau seimbang.
Kedua, setiap tahap berasal dari tahap sebelumnya, menggabungkan dan merubah tahap tersebut, serta mempersiapkan pada tahap berikutnya. Suatu tahap perkembangan membuka jalan bagi tahap perkembangan berikutnya. Dengan demikian, sekali anak mencapai suatu tahap perkembangan baru, mereka tidak lagi memiliki tahap tersebut. Implikasi penting dari karakteristik ini adalah bahwa seorang individu tidak mungkin kembali mundur pada tahap sebelumnya.
Ketiga, tahap-tahap perkembangan mengikuti urutan yang invarian. Artinya suatu tahap harus berkesinambungan, karena tahapan yang lebih aawal mendasari tahap berikutnya. Jadi tidak ada tahapan yang terlewati.
Keempat, tahap perkembangan bersifat universal. Setiap anak dari berbagai negara dan budaya akan mengalami tahapan yang sama dalam urutan yang juga sama.
Kelima, setiap tahap mencakup perubahan dari kedatangan ke arah menjadi.
Kemampuan berfikir, menurut Piaget, berlangsung melalui empat tahap, yakni: tahap sensorimotorik, pra-operasional, operasional kongkrit, dan operasional formal. Setiap individu hampir pasti akan melalui empat tahap tersebut secara tepat sama. Namun demikian, hal ini bukanlah labeling untuk semua anak, melainkan hanya merupakan pedoman umum untuk mengidentifikasi dan membedakan kemampuan-kemampuan berfikir yang dapat diperlihatkan seorang anak pada usia yang berbeda, karena menurut Piaget perkembangan kognitif terkait dengan usia dan terdiri dari cara berfikir yang berbeda-beda (Woolfolk, 2008; Santrock, 2009).
Dengan kata lain, klasifikasi kemampuan berfikir berdasarkan usia tersebut merupakan perkiraan Piaget. Setiap anak memiliki irama yang berbeda dalam melalui tahapan-tahapan ini. Mungkin saja seorang anak menunjukkan ciri-ciri kemampuan berfikir yang lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan usianya.
Ke empat tahap perkembangan beserta kemampuan-kemampuan berfikir yang dapat dicapai anak pada setiap tahap tersebut adalah sebagai berikut:
1.     Periode sensorimotorik
Periode ini kira-kira berlangsung sejak lahir hingga usia 2 tahun. Bayi memahami dunia dari segi-segi yang tampak, yakni tindakan-tindak fisik terhadap dunia tersebut. Dalam pandangan Piaget manusia memulai hidupnya dengan serangkaian refleks dan cara yang diwarisi untuk beradaptasi dengan lingkungan. Dengan cara adaptasi yang mereka warisi, mereka cenderung mengorganisir dan menyesaikan diri dengan lingkungan. Piaget dalam bukunya “The Origins Of Intelligence in Children”  mengatakan “meskipun bayi yang baru lahir tidak tahu apapun tentang dunia, tetapi ia memiliki potensi untuk tahu hampir segala sesuatu” (Miller, 2011).
Pada awal periode ini bayi mengenal dunia melalui dua cara, yaitu: menkoordinasikan pengalaman sensorinya, dengan cara melihat, mendengar, meraba, dsb.; serta dengan sistem gerakan (gerakan-gerakan fisik). Pada ahir periode ini, anak mulai mengembangkan pemahaman tentang permanensi (ketetapan) objek, yaitu suatu pemahaman bahwa objek-objek tetap ada meskipun tidak terlihat (Slavin, 2006). Oleh sebab itulah, pada akhirnya, anak telah mampu melakukan representasi mental (melambangkan objek dan peristiwa dalam pikirannya).
2.     Periode praoperasional
Periode ini berlangsung mulai usia 2 tahun hingga 7 tahun atau berlangsung selama usia-usia pra sekolah. Yang dimaksud “operasi” oleh Piaget adalah tindakan-tindakan yang dilakukan dan dibalik secara mental dan bukan secara fisik (Woolfolk, 2008). Oleh karena itu, periode ini dinamakan pra-operrasional, karena pada periode ini, anak belum mampu melakukan tindakan operasi itu, tetapi menuju kearah penguasaan operasional tersebut.
Salah satu kemajuan yang dicapai anak periode ini adalah kemampuan Semiotic function, yaitu kemampuan membentuk dan menggunakan simbol-simbol.  Kemampuan ini berkembang seiring dengan berkembang pesatnya konsep dan kemampuan bahasa mereka. Misalnya anak, pada periode ini, telah mengenal konsep “mobil” dan bekerja dengan konsep tersebut. Mereka tampak sering menggunakan kata atau gambar mobil, bahkan mereka sering terlihat membayangkan mengendarai mobil tersebut.
Beberapa ciri kemampuan berfikir anak pada periode ini sebagaimana disarikan dari Miller (2011) ialah sebagai berikut:
Egocentrism. Hal ini mengacu pada dua hal. Pertama, ketidaksempurnaan membedakan dirinya dengan dunia termasuk orang lain; kedua, melihat, memahami dan menafsirkan dunia dari perspektif dirinya. Oleh karena itu, seorang anak pra-operasional tidak mampu mengambil perspektif dari konsep dan persepsi orang lain. Fenomena ini nampak pada saat anak diminta menunjukkan sisi (tangan) kanan orang yang berhadapan dengannya, dimana ia akan menunjuk sisi (tangan) kiri orang tersebut.
Rigidity of thought. Hal ini terkait dengan ketidakmampuan melakukan konservasi, yakni prinsip bahwa jumlah atau banyaknya sesuatu tetap meskipun penataannya dirubah. Yang termasuk kekakuan pemikiran, diantaranya adalah keterpusatan (centration), yaitu: yaitu kecenderungan untuk memperhatikan dan berfikir tentang satu segi yang menonjol dan mengabaikan segi-segi lainnya. Hal ini menjadi sebab utama biasnya pemikiran mereka tentang objek. Misalnya anak praoperasional akan menilai bahwa jumlah air yang terdapat pada gelas yang lebih pendek tapi lebar lebih banyak setelah dituangkan pada gelas yang bentuknya lebih kecil tapi panjang. Salah satu bentuk kekakuan pemikiran mereka adalah ketidakmampuan mereka membalik secara mental serangkaian peristiwa, transformasi atau langkah-langkah penalaran. Atau dengan kata lain anak pra operasional tidak mampu melakukan apa yang oleh Piaget disebut sebagai reversible thinking (berfikir mundur).
Semilogical reasoning. Pada periode ini, anak juga telah menunjukkan kemampuan memberikan alasan-alasan agak logis atas peristiwa-peristiwa sehari-hari yang misterus. Ketika mereka ditanya oleh Piaget tentang mataharim dan bulan, mereka menjawab bahwa matahari dan bulan tersebut seperti manusia, diciptakan seperti penciptaan manusia dan mirip dengan tindakan-tindakan manusia (bulan itu mulai karena orang-orang mulai ada).
Limited social cognition. Piaget menyimpulkan bahwa konsepsi-konsepsi sosial anak pra-operasional terbatas karena mereka sering mendasarkannya pada satu atau dua pengalaman-pengalaman personal konkrit saja (Miller, 2011).
3.     Periode operasional kongkrit
Periode ini kira-kira belangsung mulai dari usia 7 hingga 11 tahun. Dinamakan Operasi kongkrit karena tindakan-tindakan (tugas-tugas) mental yang sudah dicapai anak-anak pada usia ini masih harus dikaitkan dengan objek dan situasi-situasi kongkrit (Woolfolk, 2008). Pada periode ini anak-anak mulai mengembangkan kemampuan berpikir logis dan telah memahami prinsip-prinsip yang terkait dengan konservasi. Namun demikian anak-anak masih terbatas kemampuannya dalam menerapkan kedua kemampuan berpikir tersebut. Mereka hanya dapat menerapkannya pada objek-objek atau situasi-situasi yang telah dikenal saja.
Kemajuan-kemajuan berpikir yang dicapai anak-anak pada periode ini, sebagaimana disarikan dari Woolfolk (2008) dan Slavin (2008) antara lain:
a.   Classification, adalah kemampuan mengelompokkan objek-objek berdasarkan kriteria atau karakteristik tertentu, misalnya warna, ukuran, bentuk, dan sebagainya. Misalnya, anak-anak usia ini menata dan mengelompokkan buku-buku di lemari berdasarkan panjang pendeknya.
b.   Reversible thinking, adalah kemampuan untuk memikirkan serangkaian langkah, kemudian membalik langkah-langkah tersebut secara mental. kemampuan ini memungkinkan anak operasi kongkrit melakukan tugas-tugas konservasi. Misalnya, anak akan dapat menyimpulkan bahwa air dalam gelas yang sempit dan tinggi, ketika dituangkan ke dalam gelas yang lebih lebar dan pendek, jumlah atau volumenya tetap sama. Kemampuan menyimpulkan seperti ini dicapai karena anak-anak di usia ini sudah dapat membayangkan langkah-langkah kebalikannya, yakni: jika air dalam gelas yang lebih pendek dan lebar dituangkan kembali ke dalam gelas yang lebih panjang dan kecil, niscaya hasilnya akan sama seperti semula.
c.    Seriasi (seriation), adalah proses menata dan menyusun  objek-objek dalam susunan yang berurutan berdasar aspek-aspek tertentu, misalnya anak menyusun tumpukan buku dimeja menjadi deretan yang logis dari yang buku-buku yang ukurannya lebih panjang kemudian dilanjutkan dengan buku-buku yang ukurannya lebih kecil lagi.
4.     Periode oprasional formal
Periode ini merupakan tahap akhir perkembangan kognitif manusia, yang berlangsung kira-kira mulai usia 11 hingga 15 tahun. Pada periode ini kemampuan berfikir remaja telah benar-benar logis, abstrak, dan hipotesis. Pemikiran operasi formal menyerupai jenis atau cara berfikir “metode ilmiah”. Memasuki usia ini, anak remaja mampu membayangkan sesuatu meskipun belum atau tidak pernah mengalaminya.
Karakteristik periode operasional formal antara lain:
a.    Hypothetico-deductive reasoning (pemikiran deduktif hipotesis) ialah konsep bahwa anak remaja dapat mengembangkan hipotesis-hipotesis mengenai berbagai cara untuk memecahkan masalah dan mencapai sebuah kesimpulan secara sistematis (Santrock, 2009).
b.   Adolescen Egocentrism, yakni asumsi remaja bahwa semua orang memiliki pikiran, perasaan, dan perhatian yang sama (Woolfolk, 2008). Dengan karakteristik ini, remaja merasa bahwa dirinya menjadi objek pengamatan semua orang.

KESIMPULAN
1.   Piaget adalah seorang konstruktivis, disamping seorang strukturalis dan genetik epistimologis.
2.   Perkembangan, menurut Piaget, dipengaruhi oleh kematang, aktivitas anak dalam lingkungannya, transmisi sosial, dan ketidakseimbangan yang akan mendorong individu menuju ke keseimbangan.
3.   Tahap-tahap perkembangan merupakan keseluruhan yang terstruktur yang muncul dari dan mengubah tahap sebelumnya; berlangsung mengikuti urutan invarian dan universal; serta dimulai dari periode transisi yang tidak stabil menuju pada periode akhir yang stabil.



DAFTAR REFERENSI

Young, G, 2011. Development and Causality: Neo-Piagetian Perspectives, Springer; New York.
Miller, PH, 2011. Theories Of Developmental Psychology, 5th ed., Worth Publishers,  New York.

Santrock, John W., 2009, Psikologi Pendidikan, Buku 1, edisi 3, Alih Bahasa: Diana Angelica, Salemba Humanika; Jakarta.

Slavin, RE., 2006. Educational Psychology: Theory and Practice, 8th ed, Pearson Educational, Inc, Boston.

Woolfolk, A., 2008, Educational Psychology: Active Learning Edition, 10th ed., Pearson Education, Inc., Boston.












Catatan :
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Catatan :
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar