TEORI
PERKEMBANGAN KOGNITIF PIAGET
Disusun
Oleh:
Moh.
Mahfudz Faqih
DAFTAR ISI
Halaman
sampul ......................................................................... 1
Daftar
isi ....................................................................................... 2
Pendahuluan
............................................................................... 3
Faktor-faktor Yang Memengaruhi Perkembangan
............... 4
Proses Perkembangan Kognitif ................................................ 6
Tahap-tahap Perkembangan Kognitif ................................... 10
Kesimpulan ................................................................................ 20
Daftar Referensi ........................................................................ 21
PENDAHULUAN
Perkembangan kognitif bukan sekedar bertambahnya fakta-fakta dan
ide-ide baru ke dalam sistem penyimpanan informasi (memori) yang sudah ada.
Perkembangan kognitif adalah perubahan bertahap dan teratur yang menyebabkan
proses mental menjadi lebih kompleks dan canggih. Jean Piaget merumuskan teori perkembangan
kognitifnya berdasarkan pengamatan yang teliti terhadap ketiga anaknya dalam
kurun waktu yang lama. Berdasarkan pengamatan yang panjang tersebut, Piaget
sampai pada sebuah kesimpulan bahwa perkembangan, sebagian besar, tergantung
pada manipulasi anak terhadap dan interaksi aktif dengan lingkungannya (Slavin,
2006). Anak-anak memperoleh dan membangun pengetahuan mereka dari tindakan-tindakan yang mereka
lakukan dalam intereksi dengan lingkungannya. Ini berarti, semakin aktif
seorang anak berinteraksi dengan lingkungannya, semakin besar peluangnya untuk
mengalami percepatan dalam perkembangan kognitif dan perolehan pengetahuannya.
Dikarenakan
pandangan-pandangan dasarnya tersebut, Piaget dianggap mewakili
konstruktivisme, yang memandang bahwa setiap individu secara aktif membangun
sistem makna dan pemahaman atas banyak realitas melalui pengalaman-pengalaman
dan interaksi-interaksi dengan lingkungan. Menurut Piaget (Young, 2011)
pengetahuan tidak diberikan, diterima secara pasif, dan disalin langsung dari
realitas, tetapi dibangun oleh pikiran dalam yang menyelidik, yang semakin mengembangkan suatu pemahaman tentang pengetahuan
yang sesuai dengan realitas eksternal.
Bangunan sistem makna dan pemahaman atas realitas tersebutlah yang membuat
struktur kognitif manusia selalu mengalami perubahan-perubahan yang progresif,
sehingga menjadi kompleks dan canggih.
Di sisi
lain, Piaget juga dipandang sebagai strukturalis (Young, 2011). Hal ini
didasarkan pada pendapatnya bahwa struktur mental yang menyaring, menguraikan
dan membentuk realitas merupakan totalitas hubungan yang terintegrasi yang
disebutnya sebagai tahap perkembangan kognitif. Akan tetapi Piaget sendiri
lebih menganggap dirinya sebagai epistimologis
genetik daripada seorang psikolog perkembangan (Young, 2011). Piaget kurang
tertarik pada perbedaan individual, karena menurutnya perkembangan kognitif
bersifat universal atau paling tidak menganggap progres perkembangan diantara
semua orang adalah sama, meskipun tingkat perolehannya bisa bervariasi.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PERKEMBANGAN
Piaget mengidentifikasi
empat faktor yang memengaruhi berbagai perubahan dalam kemampuan berfikir
seorang individu, yaitu: kematangan
biologis, aktivitas, pengalaman sosial, dan equilibrasi (Woolfolk,
2008). Kematangan memberi kontribusi terhadap kemampuan individu
memahami dunia, karena kematangan memungkinkan jaringan sel-sel berfungsi
secara optimal. Aktivitas anak dalam lingkungannya memberi peluang bagi anak
tersebut untuk melakukan eksperimen melalui serangkaian kegiatan observasi,
ekplorasi, menguji, dan kemudian mengorganisasikan informasi yang ditangkap
dari lingkungannya. Dari serangkaian aktivitas tersebut anak akan memperoleh
hal-hal baru yang pada gilirannya akan mengubah proses-proses berfikirnya. Transmisi
sosial terjadi melalui interaksi anak dengan lingkungan sosialnya,
dimana anak akan belajar banyak hal dari orang lain, terutama menyangkut
kebudayaan. Perolehan berbagai pengetahuan selama transmisi sosial tersebut,
lebih lanjut, akan mengubah kemampuan dan proses berfikirnya. Selama menjalin
interaksi dengan lingkungan, ada kalanya seorang individu mengalami suatu
kondisi ketidak seimbangan, yang oleh Piaget disebut sebgai disequilibrium,
yaitu suatu keadaan “tidak seimbang” yang terjadi karena cara berfikir yang
digunakan saat ini tidak mampu menyelesaikan suatu masalah atau memahami
situasi. Karena itu individu terdorong melakukan equilibrasi, yaitu
pencarian keseimbangan mental antara skema-skema kognitif dan informasi dari
lingkungan (Woolfolk, 2008).
PROSES PERKEMBANGAN KOGNITIF
Untuk dapat memahami teori
Piaget tentang bagaimana kemampuan berfikir manusia berkembang, perlu dipahami
beberapa konsep kunci (organisasi, skema,
adaptasi, asimilasi, adaptasi, disequilibrium, dan equilibrasi) yang secara
sistematis menggambarkan perubahan dan kemajuan kemampuan berfikir manusia
secara terus menerus dan berkesinambungan.
Dalam
pandangan Piaget setiap organisme membawa dua kecenderungan dasar, yang ia
istilahkan “invariant functions” atau fungsi-fungsi yang tidak berfariasi, yaitu organisasi dan adaptasi
(Miller, 2011). Invariant functions adalah fungsi-fungsi intelektual
yang beroperasi sepanjang perkembangan organisme.
Organisasi
Sepanjang hidupnya manusia
akan selalu berhadapan dengan objek-objek tertentu, dalam bentuk informasi
dan/atau pengalaman-pengalaman. Manusia memiliki kecenderungan untuk menata dan
mengolah informasi serta pengalaman-pengalaman tersebut menjadi berbagai
kategori mental atau struktur kognisi. kategorisasi mental semacam inilah yang
oleh Piaget disebut organisasi.
Organisasi kognitif
terdiri dari banyak struktur psikologis yang oleh Piaget disebut skema, yakni pola (sistem) perilaku dan pemikiran yang
digunakan manusia untuk mengetahui atau memikirkan berbagai objek di dunia.
Pada mulanya struktur-struktur ini pada bayi sangat sederhana, namun seiring
dengan pertumbuhan dan perkembangannya struktur-struktur ini dikombinasiskan
dan dikoordinasikan dengan struktur-struktur yang lain. Dengan skema ini
manusia merepresentasikan secara mental atau memikirkan tentang berbagai objek
di dunia.
Piaget membagi skema
menjadi dua kategori, yaitu skema
perilaku dan skema mental (Santrock, 2009). Skema
perilaku (aktivitas fisik) adalah skema yang digunakan bayi untuk mengenal
objek-objek di sekitanya, yakni dengan cara menghisap, memegang, memukul dan
membantingnya. Bayi menciptakan makna dalam sebuah cara yang aktif, tetapi
hanya dengan menerapkan skema yang dimiliki terhadap objek-objek di dunia dari
pada menggunakan simbol-simbol.
Sedangkan anak-anak yang
lebih tua serta orang dewasa mengenal objek-objek disekitarnya melalui skema mental (aktivitas kognitif). Pada
tahap ini, anak mengembangkan kemampuan untuk membuat
gambaran-gambaran (representasi), dalam
arti penyajian ulang dan penciptaan
makna simbolis.
Hal ini melibatkan kemampuan untuk menggunakan simbol-simbol dan tanda-tanda
untuk menggambarkan sebuah objek yang tidak ada. Menurut
Piaget, saat anak-anak berpikir secara simbolis, pada saat itu pula mereka
mengintegrasikan skema dan representasi simbolik (Young, 2011). Pemikiran
representasional simbolik membutuhkan penanda (signifiers) dan yang ditandai (signifieds).
Penanda mengacu pada item representasi yang menyampaikan makna sedangkan yang
ditandai mengacu pada makna yang dibawa oleh apa yang tampil sebagai penanda.
Bagi Piaget, berpikir melibatkan
manipulasi simbol-simbol dan tanda-tanda (Young, 2011).
Adaptasi
Kecenderungan bawaan yang kedua adalah adaptasi. Menurut Piaget, adaptasi adalah proses penyesuaian skema-skema
dalam respon terhadap lingkungan (Slavin, 2006). Pertambahan usia anak
menghantarkannya untuk berinteraksi dengan dunia yang semakin luas, yang
berarti semakin banyak pula objek-objek baru yang dihadapi. Anak-anak
menggunakan pola skema yang telah dimiliki dalam rangka mengenal dan mengetahui
objek-objek baru tersebut yang tentunya tidak semua objek baru tersebut behasil
dipahami menggunakan skema yang telah ada. Kegagalannya merespon dunia
menggunakan skema yang telah dimiliki mendorong anak tersebut melakukan
proses-proses adaptasi dengan suatu cara yang oleh Piaget disebut asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi, adalah proses memahami
objek dan peristiwa baru berdasarkan skema yang ada. Jika anak dihadapkan pada
objek atau peristiwa baru, ia akan mencoba menggunakan skema-skema yang ada
padanya untuk belajar hal-hal yang tidak diketahui tersebut. Jika seorang bayi
diberi mainan yang jika digerakkan mengeluarkan suara gemerincing, maka ia
mungkin akan menyentuhnya dan ketika tanpa sengaja ia menggerak-gerakkannya,
mainan tersebut mengeluarkan suara gemerincing. Pada saat itu anak telah
belajar dan memperoleh skema baru menghadapi mainan tersebut. Setelah selang
beberapa waktu anak disodori mainan baru (senjata mainan) yang berbeda dengan
mainan yang pertama tadi, besar kemungkinan anak tersebut akan melakukan hal
yang sama seperti yang dilakukannya pada mainan pertama, yakni mengambil dan
kemudian menggerak-gerakkannya. Dengan cara yang sama, seorang konselor yang
telah berhasil menangani seorang siswa perokok dengan pendekatan behavioral,
maka ketika ia dihadapkan pada siswa pecandu obat-obat terlarang, ada
kemungkinan ia akan menerapkan skema yang sama (menggunakan pendekatan
konseling yang sama) terhadap klien pecandu tersebut. Dalam situasi seperti
ini, mungkin saja ia mengalami kegagalan menerapkan skema yang telah ada untuk
menangani klien pecandu tersebut.
Akomodasi, adalah proses modifikasi skema yang
sudah ada agar cocok atau sesuai dengan informasi atau pengalaman-pengalaman
baru. Pada saat individu menghadapi objek-objek baru yang tidak dapat didekati
dengan skema yang sudah dimiliki, maka individu tersebut akan mengembangkan
dalam skemanya struktur-struktur baru yang lebih sesuai. Jadi menurut Piaget,
skema individulah yang harus disesuaikan, dan bukannya informasi atau pengalaman
baru tersebut. Pada saat seorang anak menggerak-gerakkan senjata mainan dan
ternyata tidak menghasilkan suara gemerincing, dan pada saat yang sama seorang
anak yang lain memainkan senjata mainan tersebut dihadapannya yang menghasikan
suara letusan, maka pada saat itu pula ia akan merubah konsepnya tentang mainan
bahwa tidak semua mainan akan menghasilkan suara gemerincing.
Pada saat-saat tertentu individu menyaring pengalaman-pengalaman tertentu
agar sesuai dengan jenis berpikir yang digunakan. Pengalaman yang terlalu asing
bagi individu tersebut mungkin akan diabaikan. Dengan kata lain proses
asimilasi dan akomodasi tidak dilakukannya, karena melakukannya akan
menimbulkan kecemasan luar biasa bila pengalaman baru tersebut berada jauh dari
jangkauan skema yang telah dimiliki, atau mungkin karena hal baru tersebut
kurang mampu menarik perhatianya (Woolfolk, 2008).
TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN KOGNITIF
Di dalam psikologi perkembangan terdapat banyak ahli
yang merumuskan teori perkembangan mental manusia. Namun demikian, teori
tentang tahap-tahap perkembangan kognitif Piaget ini sedikit berbeda dari
teori-teori lain. Dalam pandangan Piaget, suatu tahap adalah suatu periode
waktu dimana pikiran dan perilaku anak dalam berbagai situasi cenderung
mencerminkan suatu tipe struktur mental tertentu yang mendasari pikiran dan
perilaku mereka (Miller, 2011).
Teori tahap perkembangan Piaget ini memiliki 5 (lima)
karakteristik penting yang membedakannya dengan teori-teori lain. Kelima
karakteristik tersebut, sebagaiamana disarikan dari Miller (20110, adalah
sebagai berikut:
Pertama, suatu tahap adalah keseluruhan
yang terstruktur dalam keadaan seimbang (equilibrium).
Setiap tahap memiliki struktur yang berbeda, yang menyediakan tipe interaksi
yang berbeda antara anak dengan lingkungannya. Perbedaan strukutr dan tipe
interaksi tersebut pada gilirannya melahirkan cara pandang yang berbeda pula
terhadap dunia. Dan selama berinteraksi dengan lingkunga, seorang anak
mengembangkan skema-skema atau operasi-operasi yang saling terhubung satu
dengan lainnya untuk membentuk keseluruhan yang terorganisir. Jadi intisari
teori pentahapan kognitif dari Piaget adalah bahwa perkembangan melalui
tahapan-tahapan yang meliputi perubahan-perubahan struktur kognitif yang lebih
bersifat kualitatif daripada kuantitatif, sehingga pada setiap akhir periode
utama perkembangan, struktur-struktur kognitif menjadi stabil atau seimbang.
Kedua, setiap tahap berasal dari tahap sebelumnya, menggabungkan dan merubah tahap
tersebut, serta mempersiapkan pada tahap berikutnya. Suatu tahap perkembangan
membuka jalan bagi tahap perkembangan berikutnya. Dengan demikian, sekali anak
mencapai suatu tahap perkembangan baru, mereka tidak lagi memiliki tahap
tersebut. Implikasi penting dari karakteristik ini adalah bahwa seorang
individu tidak mungkin kembali mundur pada tahap sebelumnya.
Ketiga, tahap-tahap perkembangan mengikuti urutan yang invarian. Artinya suatu
tahap harus berkesinambungan, karena tahapan yang lebih aawal mendasari tahap
berikutnya. Jadi tidak ada tahapan yang terlewati.
Keempat, tahap perkembangan bersifat universal. Setiap anak dari berbagai negara
dan budaya akan mengalami tahapan yang sama dalam urutan yang juga sama.
Kelima, setiap tahap mencakup perubahan dari kedatangan ke arah menjadi.
Kemampuan berfikir, menurut Piaget,
berlangsung melalui empat tahap, yakni: tahap sensorimotorik, pra-operasional, operasional kongkrit, dan operasional
formal. Setiap individu hampir pasti akan melalui empat tahap tersebut
secara tepat sama. Namun demikian, hal ini bukanlah labeling untuk semua anak, melainkan hanya merupakan pedoman umum
untuk mengidentifikasi dan membedakan kemampuan-kemampuan berfikir yang dapat
diperlihatkan seorang anak pada usia yang berbeda, karena menurut Piaget
perkembangan kognitif terkait dengan usia dan terdiri dari cara berfikir yang
berbeda-beda (Woolfolk, 2008; Santrock, 2009).
Dengan kata lain, klasifikasi kemampuan berfikir berdasarkan usia tersebut
merupakan perkiraan Piaget. Setiap anak memiliki irama yang berbeda dalam
melalui tahapan-tahapan ini. Mungkin saja seorang anak menunjukkan ciri-ciri
kemampuan berfikir yang lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan usianya.
Ke empat tahap perkembangan beserta kemampuan-kemampuan berfikir yang dapat
dicapai anak pada setiap tahap tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Periode sensorimotorik
Periode
ini kira-kira berlangsung sejak lahir hingga usia 2 tahun. Bayi memahami dunia
dari segi-segi yang tampak, yakni tindakan-tindak fisik terhadap dunia
tersebut. Dalam pandangan Piaget manusia memulai hidupnya dengan serangkaian
refleks dan cara yang diwarisi untuk beradaptasi dengan lingkungan. Dengan cara
adaptasi yang mereka warisi, mereka cenderung mengorganisir dan menyesaikan
diri dengan lingkungan. Piaget dalam bukunya “The Origins Of Intelligence in Children” mengatakan “meskipun bayi yang baru lahir
tidak tahu apapun tentang dunia, tetapi ia memiliki potensi untuk tahu hampir
segala sesuatu” (Miller, 2011).
Pada
awal periode ini bayi mengenal dunia melalui dua cara, yaitu: menkoordinasikan
pengalaman sensorinya, dengan cara melihat, mendengar, meraba, dsb.; serta
dengan sistem gerakan (gerakan-gerakan fisik). Pada ahir periode ini, anak
mulai mengembangkan pemahaman tentang permanensi
(ketetapan) objek, yaitu suatu pemahaman bahwa objek-objek tetap ada meskipun
tidak terlihat (Slavin, 2006). Oleh sebab itulah, pada akhirnya, anak telah
mampu melakukan representasi mental (melambangkan objek dan peristiwa dalam
pikirannya).
2.
Periode praoperasional
Periode
ini berlangsung mulai usia 2 tahun hingga 7 tahun atau berlangsung selama
usia-usia pra sekolah. Yang dimaksud “operasi” oleh Piaget adalah
tindakan-tindakan yang dilakukan dan dibalik secara mental dan bukan secara
fisik (Woolfolk, 2008). Oleh karena itu, periode ini dinamakan
pra-operrasional, karena pada periode ini, anak belum mampu melakukan tindakan
operasi itu, tetapi menuju kearah penguasaan operasional tersebut.
Salah
satu kemajuan yang dicapai anak periode ini adalah kemampuan Semiotic
function, yaitu kemampuan
membentuk dan menggunakan simbol-simbol. Kemampuan ini berkembang seiring dengan
berkembang pesatnya konsep dan kemampuan bahasa mereka. Misalnya anak, pada
periode ini, telah mengenal konsep “mobil” dan bekerja dengan konsep tersebut.
Mereka tampak sering menggunakan kata atau gambar mobil, bahkan mereka sering
terlihat membayangkan mengendarai mobil tersebut.
Beberapa
ciri kemampuan berfikir anak pada periode ini sebagaimana disarikan dari Miller
(2011) ialah sebagai berikut:
Egocentrism. Hal ini
mengacu pada dua hal. Pertama, ketidaksempurnaan membedakan dirinya dengan
dunia termasuk orang lain; kedua, melihat, memahami dan menafsirkan dunia dari
perspektif dirinya. Oleh karena itu, seorang anak pra-operasional tidak mampu
mengambil perspektif dari konsep dan persepsi orang lain. Fenomena ini nampak
pada saat anak diminta menunjukkan sisi (tangan) kanan orang yang berhadapan
dengannya, dimana ia akan menunjuk sisi (tangan) kiri orang tersebut.
Rigidity of thought. Hal ini
terkait dengan ketidakmampuan melakukan konservasi, yakni prinsip bahwa jumlah
atau banyaknya sesuatu tetap meskipun penataannya dirubah. Yang termasuk
kekakuan pemikiran, diantaranya adalah keterpusatan (centration), yaitu: yaitu kecenderungan untuk memperhatikan dan
berfikir tentang satu segi yang menonjol dan mengabaikan segi-segi lainnya. Hal
ini menjadi sebab utama biasnya pemikiran mereka tentang objek. Misalnya anak
praoperasional akan menilai bahwa jumlah air yang terdapat pada gelas yang
lebih pendek tapi lebar lebih banyak setelah dituangkan pada gelas yang
bentuknya lebih kecil tapi panjang. Salah satu bentuk kekakuan pemikiran mereka
adalah ketidakmampuan mereka membalik secara mental serangkaian peristiwa,
transformasi atau langkah-langkah penalaran. Atau dengan kata lain anak pra
operasional tidak mampu melakukan apa yang oleh Piaget disebut sebagai reversible
thinking (berfikir mundur).
Semilogical
reasoning.
Pada periode ini, anak juga telah menunjukkan kemampuan memberikan
alasan-alasan agak logis atas peristiwa-peristiwa sehari-hari yang misterus.
Ketika mereka ditanya oleh Piaget tentang mataharim dan bulan, mereka menjawab
bahwa matahari dan bulan tersebut seperti manusia, diciptakan seperti
penciptaan manusia dan mirip dengan tindakan-tindakan manusia (bulan itu mulai
karena orang-orang mulai ada).
Limited
social cognition.
Piaget menyimpulkan bahwa konsepsi-konsepsi sosial anak pra-operasional
terbatas karena mereka sering mendasarkannya pada satu atau dua
pengalaman-pengalaman personal konkrit saja (Miller, 2011).
3.
Periode
operasional kongkrit
Periode
ini kira-kira belangsung mulai dari usia 7 hingga 11 tahun. Dinamakan Operasi
kongkrit karena tindakan-tindakan (tugas-tugas) mental yang sudah dicapai
anak-anak pada usia ini masih harus dikaitkan dengan objek dan situasi-situasi
kongkrit (Woolfolk, 2008). Pada periode ini anak-anak mulai mengembangkan kemampuan
berpikir logis dan telah memahami prinsip-prinsip yang terkait dengan
konservasi. Namun demikian anak-anak masih terbatas kemampuannya dalam
menerapkan kedua kemampuan berpikir tersebut. Mereka hanya dapat menerapkannya
pada objek-objek atau situasi-situasi yang telah dikenal saja.
Kemajuan-kemajuan
berpikir yang dicapai anak-anak pada periode ini, sebagaimana disarikan dari
Woolfolk (2008) dan Slavin (2008) antara lain:
a.
Classification, adalah
kemampuan mengelompokkan objek-objek berdasarkan kriteria atau karakteristik
tertentu, misalnya warna, ukuran, bentuk, dan sebagainya. Misalnya, anak-anak
usia ini menata dan mengelompokkan buku-buku di lemari berdasarkan panjang
pendeknya.
b.
Reversible
thinking,
adalah kemampuan untuk memikirkan serangkaian langkah, kemudian membalik
langkah-langkah tersebut secara mental. kemampuan ini memungkinkan anak operasi
kongkrit melakukan tugas-tugas konservasi. Misalnya, anak akan dapat
menyimpulkan bahwa air dalam gelas yang sempit dan tinggi, ketika dituangkan ke
dalam gelas yang lebih lebar dan pendek, jumlah atau volumenya tetap sama.
Kemampuan menyimpulkan seperti ini dicapai karena anak-anak di usia ini sudah
dapat membayangkan langkah-langkah kebalikannya, yakni: jika air dalam gelas
yang lebih pendek dan lebar dituangkan kembali ke dalam gelas yang lebih
panjang dan kecil, niscaya hasilnya akan sama seperti semula.
c.
Seriasi
(seriation), adalah proses menata dan menyusun objek-objek dalam susunan yang berurutan
berdasar aspek-aspek tertentu, misalnya anak menyusun tumpukan buku dimeja
menjadi deretan yang logis dari yang buku-buku yang ukurannya lebih panjang
kemudian dilanjutkan dengan buku-buku yang ukurannya lebih kecil lagi.
4.
Periode oprasional
formal
Periode
ini merupakan tahap akhir perkembangan kognitif manusia, yang berlangsung
kira-kira mulai usia 11 hingga 15 tahun. Pada periode ini kemampuan berfikir
remaja telah benar-benar logis, abstrak, dan hipotesis. Pemikiran operasi
formal menyerupai jenis atau cara berfikir “metode ilmiah”. Memasuki usia ini,
anak remaja mampu membayangkan sesuatu meskipun belum atau tidak pernah
mengalaminya.
Karakteristik
periode operasional formal antara lain:
a.
Hypothetico-deductive
reasoning (pemikiran deduktif hipotesis) ialah konsep
bahwa anak remaja dapat mengembangkan hipotesis-hipotesis mengenai berbagai
cara untuk memecahkan masalah dan mencapai sebuah kesimpulan secara sistematis
(Santrock, 2009).
b.
Adolescen
Egocentrism, yakni
asumsi remaja bahwa semua orang memiliki pikiran, perasaan, dan perhatian yang
sama (Woolfolk, 2008). Dengan karakteristik ini, remaja merasa bahwa dirinya
menjadi objek pengamatan semua orang.
KESIMPULAN
1.
Piaget
adalah seorang konstruktivis, disamping seorang strukturalis dan genetik
epistimologis.
2.
Perkembangan,
menurut Piaget, dipengaruhi oleh kematang, aktivitas anak dalam lingkungannya,
transmisi sosial, dan ketidakseimbangan yang akan mendorong individu menuju ke
keseimbangan.
3.
Tahap-tahap
perkembangan merupakan keseluruhan yang terstruktur yang muncul dari dan
mengubah tahap sebelumnya; berlangsung mengikuti urutan invarian dan universal;
serta dimulai dari periode transisi yang tidak stabil menuju pada periode akhir
yang stabil.
DAFTAR
REFERENSI
Young, G, 2011. Development and Causality: Neo-Piagetian
Perspectives, Springer; New York.
Miller, PH, 2011. Theories Of Developmental
Psychology, 5th ed., Worth
Publishers, New York.
Santrock, John W.,
2009, Psikologi Pendidikan, Buku 1,
edisi 3, Alih Bahasa: Diana Angelica, Salemba Humanika; Jakarta.
Slavin, RE., 2006. Educational Psychology: Theory and Practice,
8th ed, Pearson Educational, Inc, Boston.
Woolfolk,
A., 2008, Educational Psychology: Active
Learning Edition, 10th ed., Pearson Education, Inc., Boston.
Catatan
:
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Catatan
:
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Tidak ada komentar:
Posting Komentar